Keluarga Besar Al Yamani

Kamis, 17 Maret 2011

ppdi5

Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Gerakan Neomodernisme Islam Di Indonesia
admin · Friday, July 2nd, 2010
(Perspektif Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid)
Oleh: Hamzah Tualeka Zn
Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
Abstract: This study discusses the discourse on Islamic neo-modernism movement in
Indonesia represented by Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid. It also explains
neo-modernism movement in the late 19th century and early 1970th, especially
movement that conducted by student came from traditional Muslim. Students are first
generation of traditional Muslim whose access to better and higher education after
educational expansion in the post-colonial in Indonesia. For the first time, they call
their movement as Islamic thought reform. But, Fazlur Rahman’s modern thought
influences this movement and changes it into neo-modernism. Nurcholish Madjid and
Abdurrahman Wahid are two Indonesian scholars who adopt Rahman’s thought in
Indonesia value. According to them, neo-modernism is respond to modernism
weakness.
Keywords: Islamic neo-modernism, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid
Pendahuluan
Nabi Muhammad saw pernah menyatakan bahwa urusan duniawi diserahkan
sepenuhnya kepada umat Islam, karena mereka dianggap lebih mengetahuinya. Ia pun
menyatakan bahwa iman seseorang itu dapat bertambah dan dapat pula berkurang.
Semua orang bersepakat bahwa kehidupan sosial tidaklah statis, tetapi selalu berubah
secara dinamis. Tetapi, tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama dalam
mengartikan perubahan soial, bahkan konsep perubahan sosial sempat diberi makna
intuatif dan sebagai suatu mitos belaka. Suatu cara pandang konservatif menganggap
bahwa perubahan sosial sebagai suatu penyimpangan sosial. Yang termasuk ke dalam
aliran konservatif ini adalah paradigma struktural-fungsional. Dalam melihat
perubahan, aliran ini lebih memperhatikan struktur daripada proses, dan ketika
Fakultas Ushuluddin - 1 / 13 - 03.08.2010
2
sampai pada analisis proses pun ternyata yang dikaji hanya kondisi struktural yang
sempit. Dalam perkembangannya pun para ahli memperlihatkan perbedaan dalam
memahami perubahan sosial. Pemaknaan konsep perubahan sosial pun hingga kini
masih menjadi problem.[77]
Tulisan ini mengangkat Gerakan Neomodernisme di Indonesia dengan menyoroti
pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
Perpaduan Tradisionalisme dan Modernisme
Seorang Indonesianis asal AS, Greg Barton, telah menulis sebuah artikel yang
menyoroti eksistensi pemikiran neomodernisme yang diasosiasikan kepada kedua
intelektual muslim, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Artikel yang diberi
judul “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama:
The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”,
menguji pengaruh gerakan pemikiran neomodernisme sebagai sebuah gerakan
pemikiran Islam baru di Indonesia yang muncul secara kontroversial pada permulaan
tahun 1970-an – terhadap perkembangan pemikiran keislaman, khususnya di kalangan
intelektual muda muslim.[78] Paper Greg Berton ini mempertegas bahwa gerakan
pemikiran baru ini hadir dengan memadukan tradisionalisme Islam, modernisme dan
pendidikan Barat. Gerakan pemikiran ini dikembangkan oleh generasi pemikir yang
berlatar belakang tradisionalis. Semasa mudanya mereka mengenyam pendidikan
keagamaan pesantren dan pergi untuk mengadopsi corak pemikiran Barat modern
dan perguruan tinggi.
Meskipun secara geografis berada di pinggiran, namun secara objektif tidak dapat lagi
dikatakan kurang berperan dalam dunia Islam. Dengan jumlah penduduk melebihi 200
juta, 88 persennya (sekitar 175 juta) adalah muslim, Indonesia dianggap sebagai
negara muslim terbesar. Namun demikian, 60 persen penduduk Islam Indonesia di
Jawa perlu diteliti karena sebagian corak keberagamannya masih dicampuri
elemen-elemen pra-Islam seperti Hindu-Buddha dan kepercayaan animisme. Contoh
klasik tentang penelitian ini dapat dilihat dalam buku terkenal Clifford Geertz, The
Religion of Java. Meskipun dalam buku itu Geertz memberikan deskripsi secara
mengagumkan tentang kehidupan suatu kampung di Jawa Timur pada tahun 1950-an,
namun ia membuat beberapa kesalahan serius dalam analisisnya.[79]
Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin
tradisional telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern. Pada periode
ini aktivitas partai politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern.
Beberapa ulama jebolan pesantren telah menempuh berbagai pendidikan modern.
Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun 1950 telah berhimpun dengan
organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi. Mereka sebelumnya
telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan tangan dalam
wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama
berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada
tahun 1952 dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik
independen.
Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas
Fakultas Ushuluddin - 2 / 13 - 03.08.2010
3
memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu
tradisionalisme dan modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa
pernah muncul dari kalangan tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid
Hasyim, yang sebelum meninggal dalam kecelakaan mobil 1953 mampu membangun
komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.
Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah
memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu
organisasi dari kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan
sejarah atas pembangunan sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan
ketika berbagai kesulitan menimpa bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa
intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh pendidikan Islam klasik tentang
Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di antara mereka ada
sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai pemikiran
ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.
Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para
alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai
memasuki dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman
Wahid adalah generasi pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini.
Lingkungan keilmuan Islam klasik dan Modern (Barat) secara bersama-sama
membawa pengaruh kuat bagi keduanya.[80]
Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem IAIN dalam mereformasi Islam
benar-benar penting. Pembentukan IAIN, yang diawali dengan IAIN Syarif
Hidayatullah di Ciputat Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara
tidak langsung memberi kesempatan pertama bagi mayoritas keluaran pesantren
untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Sejak tahun 1960-an IAIN tetap
mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar. Secara pelan-pelan, proses
perubahan nampak dengan transformasi IAIN menjadi lembaga yang
mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian
modern. Dengan masuknya Harun Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali
di IAIN Sunan Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di
kalangan mahasiswa dengan mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk
terhadap dasar-dasar keimanan serta menggunakan pendekatan kritis dalam kajian
keislaman.
Sebagai generasi tua, merekalah yang membukakan jalan bagi generasi muda
pemikir-pemikir Islam untuk tampil ke depan. Abdurrrahman Wahid dan Nurcholish
Madjid sebagai representasi utama dari generasi muda itu. Nurcholish Madjid yang
lahir pada tahun 1939 dan Abdurrahman Wahid yang lahir pada tahun 1940 adalah
orang-orang yang tengah memasuki usia remaja saat Soeharto muncul sebagai
penguasa.
Neomodernisme
Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an, terutama di
kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini
merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada
Fakultas Ushuluddin - 3 / 13 - 03.08.2010
4
pendidikan tinggi dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang
berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di
antara mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa yang berorientasi modern
(HMI).
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan
pemikiran Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme,
dengan mengikuti paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah
keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari
l970 yang intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru,
sehingga perlu dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu
menggunakan terma desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga dengan
mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari berbagai pihak. Kritik itu terurama
datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh kritikan Nurcholish Madjid
yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah mandek dan perlu
direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah.[81]
Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid
semakin meningkat.[82] Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang
berporos pada Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide
pembaruan dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan
kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya
diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap
sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain
berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid
sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu.
Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan
kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat
dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan
inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang
kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa
kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
Profil Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid
1. Nurcholis Madjid
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah pelopor pembaruan dan memiliki
garis keturunan dari keluarga seorang pembaru. Ayah Nurcholish Madjid, Abdul
Madjid ayah Abdurrahman Wahid, Wahid Hasyim adalah kawan dekat dam memiliki
hubungan keluarga melalui jalur perkawinan. Keduanya merupakan tokoh terkemuka
Fakultas Ushuluddin - 4 / 13 - 03.08.2010
5
di masyarakat Muslim tradisional di Jombang Jawa Timur, salah satu pusat NU
terpenting. Abdul Madjid memilih tetap tinggal di Jombang dan tetap berafiliasi
dengan Masyumi, meskipun NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Sedangkan
Wahid Hasyim mengikuti jejak sang ayah Muhammad Hasyim Asy’ari dengan menjadi
tokoh nasional melalui kepemimpinannya di NU.[83]
Pendidikan yang dilalui Nurcholish Madjid sejak anak-anak cukup lengkap. Ia pergi ke
Sekolah Rakyat pada waktu pagi untuk memperoleh pendidikan sekuler dan pergi ke
Madrasah al-Wathaniyah pada sore hari untuk memperoleh pendidikan keagamaan.
Dia selanjutnya belajar di Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang selama dua tahun,
belajar di Pesantren Gontor selama 6 tahun, IAIN Syarif Hidayatullah, dan meraih
gelar master dan Doktor di Universitas Chicago.
Gebrakannya di kancah pemikiran diawali pada ranggal 3 Januari 1970 saat
memimpin HMI dengan meneriakkan adagium Islam yes! Partai Islam no! Idenya ini
menekankan bahwa Islam tidak memiliki gagasan tentang negara Islam. Ide-ide
pembentukan negara Islam di era modern tak lebih dari respons apologis rerhadap
Barat, bukan hasil interpretasi rasional terhadap ajaran Islam. Baginya, tak bijak
kalau kita beraktivitas di parpol dengan menjauhi pelayanan sosial. Jadi, perjuangan
Islam bisa lewat jalur non-politik.
Yang menarik untuk dicermati pada sosok Nurcholish Madjid adalah ketika dia
berkampanye untuk PPP pada pemilu 1977. Alasan dia mendukung PPP pada waktu
itu adalah Indonesia memerlukan partai oposisi yang kuat dan sebagai
konsekuensinya PPP dan PDI memerlukan kekuatan supaya bisa menjadi kekuatan
penyeimbang terhadap dominasi Golkar. Politik Indonesia mirip becak dengan tiga
rodanya. Dia perlu memompa ban kempes agar dapat berjalan kembali.
Sepulang dari studinya di USA (1984) Nurcholish Madjid menjadi staf pengajar di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menjadi figur kunci dalam proses reformasi IAIN
yang telah digagas Harun Nasution. Di bidang pemikiran, Nurcholish Madjid mulai
mengelaborasi konsep-konsep pembaruan yang pernah dikemukakannya dan
mengetengahkan hal-hal baru bagi umat. Sikap anti-tradisionalisme misalnya,
belakangan dimaknai bukan dengan menggantikan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai
baru, melainkan bahwa tradisi dan modenitas adalah proses kontinuitas.
Meninggalkan tradisi lama, kata Nurcholish Madjid akan menimbulkan fitnah jump to
conclusion (kesimpulan yang melompat) karena mengambil pokoknya saja tanpa
memahami latar belakangnya. Gejala inilah yang menghinggapi kaum modernis Islam
sekarang. Dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, Nurcholish Madjid lagi-lagi
mengkritik bahwa kaum modernis Islam terancam mengalami intelctual
impoverisment (pemiskinan intelektual).
Dalam pcngamatan Nurcholish Madjid, kaum modernis dalam pemikiran-pcmikirannya
sering kali terjebak pada proscs pengambil alihan konsep-konsep Barat. Atas dasar ini,
Nurcholish Madjid menganjurkan perlunya menumbuhkan tradisi intelektual yang
autentik dan integral sejalan dengan kaidah klasik al-muhafadhatu ala qadim al-shalih
wal akhdzu bi al-jadidi al-aslah (mengambil nilai-nilai lama yang baik dan
mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik).[84]
Fakultas Ushuluddin - 5 / 13 - 03.08.2010
6
Ide-ide pembaruan Nurcholish Madjid semakin meluas ke berbagai kalangan berkat
organisasi Paramadina yang dibentuknya pada pertengahan 1980-an. Paramadina
sebagai organisasi sosio-pendidikan menjalankan kuliah-kuliah umum dengan jadwal
teratur, membuat jaringan kajian program seminar akhir pekan, dan sejenisnya.
Organisasi itu berhasil menarik perhatian sebagian elite berpengaruh Jakarta dan
mendorong para profesional abangan perkotaan, kalangan pengusaha, pegawai negeri,
dan mahasiswa untuk memiliki kepercayaan agama yang lebih kokoh, lebih mendalami
pengetahuan Islamnya, dan berpandangan progresif rentang peran agama di
masyarakat. Dapat dikatakan, Paramadina adalah lembaga pendidikan keagamaan
yang berfungsi mirip tradisi pesantren atau madrasah akhir abad ke-20.
Paradigma neomodemisme tampak jelas pada misi yang diemban Paramadina. Seperti
dikatakan pendirinya, Nurcholish Madjid, Yayasan Paramadina adalah lembaga
pendidikan yang secara penuh memercayai bahwa nilai-nilai Islam universal dapat
dibuat konkret dalam konteks tradisi lokal serta keislaman dan keindonesiaan yang
jelas-jelas berpadu. Yayasan Paramadina dirancang sebagai pusat keislaman yang
kreatif, konstruktif, dan positif untuk memajukan masyarakat tanpa bersikap defensif
atau bahkan reaksioner. Untuk tujuan ini, kegiatan intinya diarahkan pada
pembangunan kemampuan rnasyarakat dalam menjawab tantangan abad ini dan
memberikan sumbangan bagi tumbuhnya tradisi intelektual. Upaya ini dimaksudkan
untuk menginvestasikan sumber-sumber penting dalam pengembangan mutu dan
kemampuan ilmiah. Sebagai konsekuensinya, program aktivitas intinya adalah
menumbuhkan pemahaman Islam secara luas, benar, penuh semangat keterbukaan,
dan bersama menyebarkan gagasan-gagasan yang menekankan nilai-nilai keadilan,
keterbukaan, dan demokrasi.
Ide-ide neomodernisme ini semakin memperoleh tempatnya dengan dibukanya KKA
(Klub Kajian Agama) yang pertama pada bulan Oktober 1986 dan menerbitkan
hasil-hasil seminar KKA. Pada tahun 1992, Paramadina menerbitkan ontologi Makalah
KKA Nurcholish Madjid dengan diberi judul Islam Doktrin dan Peradaban, yang
disusul dengan penerbitan buku-buku lain.[85]
Pemikiran neomodernisme Nurcholish Madjid secara nyata telah mempengaruhi para
neomodernis muda yang lain dan memberikan inspirasi bagi upaya penyebarluasan
gagasan pembaruan pemikiran. Di Jakarta, Dawam Rahardjo yang memimpin LSAF
(Lembaga Studi Agama dan Filsafat) menerbitkan jurnal Ulumul Qur’an dan Masdar
Farid Masudi menjalankan NGO yang bernama PSM (Perhimpunan Perkembangan
Pesantren dan Masyarakat). Di Yogyakarta kalangan muda neomodernisme yang
berlatar belakang NU berhimpun dalam wadah LKiS. LKiS adalah salah satu
represenrasi angkatan muda NU yang berhasil melakukan gerakan pembaruan
pemikiran Islam dan aksi sosio-kultural baik dalam wilayah internal NU maupun di
luarnya.[86] Wacana agama yang dikembangkan LKiS adalah Islam transformatif dan
toleran. Kegiatan mereka dalam menyebarluaskan pemikiran keislaman yang inklusif
sedikit banyak terinsipirasi oleh pemikiran pembaruan Nurcholish Madjid di samping
tokoh idola mereka, Abdurrahman Wahid.
2. Abdurrahman Wahid
Sebagaimana diuraikan di muka, Abdurrahman Wahid adalah tokoh lain di luar
Fakultas Ushuluddin - 6 / 13 - 03.08.2010
7
Nurcholish Madjid yang berperan penting dalam proses penyebaran gagasan
neomodernisme di Indonesia. Abdurrahman Wahid lahir pada tahun 1940 di Jombang.
Dia pernah menimba ilmu di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta
pada tahun 1953-1957, Pesantren di Tegalrejo (1957-1959) dan Pesantren Krapyak
Yogyakarta(1959-1963).[87]
Dia pernah mengajar di Pesantren Tambak Beras. Selesai menempuh pesantren, Ia
melanjutkan kuliah di Universitas Kairo (1964-966), dan kemudian pindah ke Fakultas
Sastra Universitas Baghdad (1966)
Dia akrab dengan berbagai tulisan, sebagian besar karya-karya fiksi berbahasa
Indonesia, Arab, Inggris, dan Prancis sejak di Pesantren Tambak Betas. Dia membaca
secara kritis karya-karya filsafat, sosial, polirik, dan agama. Dia bercita-cita bisa
menempuh pendidikan formal dan meraih gelar di perguruan tinggi Eropa. Namun
cita-citanya tidak bisa terwujud, karena dia tidak menemukan sebuah lembaga
pendidikan di Eropa yang menghargai minatnya terhadap kajian Timur-Tengah.
Abdurrahman Wahid sejak muda sudah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat
secara luas berkat dukungan keluarga dan kegiatan ayahnya di bidang keagamaan
dan perpolitikan nasional yang cukup menonjol. Sang ayah, KH. Wahid Hasyim
nampaknya mendorong dia untuk bergaul dengan berbagai tokoh, baik dari
lingkungan NU maupun di luar NU termasuk dengan kalangan non-Muslim.
Sepulang dari Timur Tengah pada tahun 1971, Abdurrahman Wahid langsung
melibatkan diri dalam dunia pesantren dan mengendalikan berbagai posisi
dipesantren. Pada tahun 1972-1974, dia diangkat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin
di Universitas Hasyim Asy’ari Jombang, Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng
(1974-1980) dan memimpin Pesantren Ciganjur Selatan (1978). Mulai tahun 1978, dia
melibatkan diri dalam kepemimpinan NU pada level Nasional dengan jabatan Katib
Syuriah (1979). Pada tahun 1983 bersama KH. Achmad Shiddiq, dia tampil dalam
pucuk kepemimpinan NU setelah KH. Idham Chalid menyerahkan kepemimpinannya
pada bulan Mei 1982. Kudeta diam-diam meski berjalan sukses dalam
perkembangannya membuat NU terbelah menjadi dua kelompok. Satu kelompok
sebagai pendukung Idham, yang dikenal dengan kelompok Cipete sedangkan
kelompok yang lain adalah kalangan reformis yang menentang Idham, yang dikenal
dengan kelompok Situbondo. Pada Desember 1984, Abdurrahman Wahid terpilih
sebagai Ketua Tanfidziyah dan KH. Achmad Shiddiq sebagai Rais ‘Am-nya.[88]
Di awal kepemimpinannya di NU, Abdurrahman Wahid mendapat sambutan hangat
dari pemerintah karena dia dianggap sebagai tokoh yang menyuarakan pandangan
moderat dan stabilitas. Akan tetapi dalam perkembangannya dia dianggap sebagai
figur oposisi yang mengganggu dan meresahkan pemerintah. Apalagi serelah
terang-terangan dia bersama Djohan Effendi, 43 intelektual lainnya, dan para tokoh
masyarakat yang lain mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) pada bulan Maret 1995
Fordem dibentuk untuk memperjuangkan pembaruan demokrasi di Indonesia
sekaligus menentang kecenderungan berkembangnya sektarianisme dalam
masyarakat.
Sesuai dengan namanya, Forum Demokrasi dimaksudkan sebagai lembaga think-tank
Fakultas Ushuluddin - 7 / 13 - 03.08.2010
8
yang mempunyai pengaruh dan kelompok lobi yang mendiskusikan ide-ide demokrasi
liberal dan cara-cara merealisasikannya dalam masyarakat Indonesia.
Keanggotaannya menyebar dengan memadukan para tokoh agama dan intelektual dari
berbagai kelompok dan tradisi agama di masyarakat Indonesia.
Abdurrahman Wahid dalam berbagai forum gencar menyampaikan kritik terhadap
gaya otoritarianisme pemerintahan Presiden Soeharto dan memberikan statement
secara terbuka tentang perlunya reformasi kehidupan demokrasi. Sebagai akibatya,
dia benar-benar ditekan secara politis oleh penguasa Orde Baru. Sejak saat itu,
Abdurrahman Wahid tampil sebagai sosok aktivis Muslim yang dianggap sebagai
ancaman bagi rezim penguasa.
Kehadiran Abdurrahman Wahid di NU telah menorehkan berbagai prestasi besar
khususnya di bidang pemikiran. Hal ini tampak ketika perhelatan Munas Situbondo
yang digelar Desember 1983. Pada Munas yang dikenal sebagai permulaan reformasi
di tubuh NU itu, moncul keinginan dan peserta untuk kembali ke Khittah 1926
Keinginan kembali ke semangat para pendiri NU (Khittah 1926) ini secara umum
dipahami untuk tiga tujuan. Pertama, NU ingin meninggalkan partai politik dan
berkonsentrasi sesuai tugas aslinya sebagai organisasi sosial pendidikan. Kedua,
kepemimpinan asli dalam organisasi NU harus dipegang oleh ulama, tidak dipegang
oleh politisi sebagaimana direpresentasilcan oleh Idham. Ketiga, NU ingin kembali
memusatkan diri dalam membantu pengembangan sosial, ekonomi, dan pendidikan
warganya.[89]
Gagasan reformasi NU ini dirumuskan oleh Majelis 24. Majelis ini mulai bekerja pada
tahun 1983 dengan beranggotakan para intelektual dan aktivis muda NU seperti
Abdurralunan Wahid, Masdar Farid Mas’udi, Muchit Muzadil, Fahmi Saefudin, dan
didukung oleh para ulama progresif seperti KH. Achmad Shiddiq, KH. Musthofa Bisri
dan KH. Sahal Mahfud. Dari tim besar ini, kemudian dibentuk Tim tujuh yang
bertugas merumuskan apa yang dimaksud khittah 1926, dengan Abdurrahman Wahid
sebagai salah seorang anggotanya. Akhirnya pada Muktamar Situbondo 1984. NU
menerima khittah l926 sebagai garis perjuangan NU. Dalam Muktamar ini
Abdurrahman Wahid dipilih scbagai Ketua Tanfidziyah dan KH. Achmad Shiddiq
ditetapkan sebagai Rais ‘Am-nya.
Lima tahun berikutnya, ketika Muktamar NU ke-28 digelar di Krapyak Yogyakarra
pada tahun 1989, Abdurrahman Wahid terpiih kembali sebagai Ketua Tanfidziyah,
namun menghadapi penentangan yang signifikan. Beberapa peserta muktamar
mempertanyakan statemen Abdurrahman Wahid tentang penggantian salam
persahabatan umat Islam Assalamu’alaikum dengan selamat pagi. Namun lagi-lagi dia
berhasil menjelaskan persoalan sebenarnya. Menunut Abdurrahman Wahid, kata
selamat dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan kata salam dalam bahasa Arab,
sehingga kata selamat pagi harus dipahami sama artinya orang Indonesia dapat
menenima assalamu ’alaikum.
Secara normarif, kata Abdurrahman Wahid, ucapan salam dalam shalat wajib
hukumnya. Tetapi secara budaya, ucapan salam ini bisa digantikan dengan selamat
pagi dan sebagainya. Pendapat ini dalam pandangan Abdurrahman Wahid analog
dengan ucapan shabahul khair yang artinya tidak berbeda dengan ucapan assaamu
Fakultas Ushuluddin - 8 / 13 - 03.08.2010
9
’alaikum yang sering digunakan di negara-negara Arab. Dengan demikian, ucapan
selamat pagi sebenarnya merupakan bentuk pribumisasi dari assalamu ’alaikum yang
digunakan dalam konteks budaya. Cara seperri ini, ungkap Abdurrahman Wahid, akan
menampung dua kebutuhan. Pertama, kebutuhan adaptasi kukural kepada
adar-istiadat yang selama ini benjalan. Kedua, kebutuhan untuk memelihara ajaran
formal agama.[90]
Sebagian peserta yang hadir dalarn Mukramar NU ke-28 di Krapyak juga
mengemukakan keberatan atas sikap Abdurrahman Wahid yang secara
terang-terangan menentang pemerinrah. Sikap ini dianggap akan menciptakan
disharmoni NU dengan Pemerintah. Semua keberatan itu dijawab secara tuntas o!eh
Abdurrahman Wahid dengan menggunakan argumentasi yang didasarkan pada fiqilt
Sikap kurang non-kompromistis Abdurrahman Wahid dengan penguasa secara nyata
ditunjukkan dengan penolakannya untuk masuk ICMI ketika organisasi ini dibentuk
pada tahun 1990. Menurut Abdurrahman Wahid, ICMI merupakan representasi
organisasi yang mengembangkan sektarianisme. Oleh karena itu, dia menolak masuk
ICMI sebagai konsekuensi pada silcapnya yang menentang bahaya sektarianisme dan
menentang pertumbuhan sektarianisme pada masyarakat Indonesia.
Sikap antisektaranisme Abdurrahman Wahid juga tecermin dengan pembelaannya
terhadapArswendo Atmowiloto (Editor Majalah Kristen Monitor) yang merilis hasil
poling yang meletakkan posisi Nabi Muhammad pada urutan kesebelas di bawah
posisi Presiden Soeharto (urutan pertama) maupun tokoh-tokoh lain.
Hingga akhir 1991 dan awal 1992, Abdurrahman dan NU ditekan secara
terus-mcnerus oleh Pemerintahan Soeharro. Dalam keadaan seperti ini, NU
menyelenggarakan Rapat Akbar yang dihadiri ratusan ribu warganya dengan berjanji
akan terus setia kepada Pancasila. Dengan manuver ini, seolah NU menekan
pemerinrah sehingga tak dapat mengabaikan kekuatan NU. NU sebagai organisasi
rakyat kccil trerbesar, organisasi non-pemerintah, tetap dianggap sebagai kekuatan
signifikan. Dengan cara itu, Abdurrahman Wahid dan NU dapat memainkan peran
penting dalam mengendalikan stabiitas sosial dan kerukunan dalam masyarakat.
Selain itu, Abdurrahman tampil selaku figur penting yang tak diragukan komitmennya
sebagai scorang moderat dan liberal dalam mempertahankan kerukunan sosial dalam
masyarakat Indonesia yang piuralistik.[91]
Dalam membahas sisi intelektualitas Abdurrahman Wahid, rasanya kurang lengkap
jika tidak menyinggung dua gagasan yang diwacanakannya. Pertama, Islam sebagai
faktor komplementer dalam kehidupan sosio kultural dan politik Indonesia. Kedua,
gagasan pribumisasi Islam.
Dimensi pertama dari gagasan Abdurrahman Wahid ini merupakan seruan kepada
rekan-rekannya sesama Muslim untuk tidak menjadikan Islam sebagai ideologi
alrernatif terhadap konstitusi negara-bangsa Indonesia yang sudah ada sekarang.
Dalam pandangannya, sebagai satu komponen penting dari struktur sosial Indonesia,
Islam tidak boleh menempatkan diri dalam posisi yang bersaing vis-a-vis
komponen-komponen lainnya. Akan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai unsur
komplementer dalam fondasi tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Upaya
Fakultas Ushuluddin - 9 / 13 - 03.08.2010
10
menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif arau pemberi warna tunggal hanya
akan membawa perpecahan dalam masyarakat secara keseluruhan mengingat corak
sosial kita yang beragam.
Dimensi kedua dari gagasan Abdurrahman Wahid adalah pribumisasi Islam.
Menurutnya, pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab
pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia)
dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendini.
Pribumisasi Islam bukan berarri meninggalkan norma-norma kcagamaan demi budaya,
namun agar norma-norma ini menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan
mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash a1-Quran.
[92]
Menurur Abdurrahman Wahid, pribumisasi Islam adalah rekonsiliasi antara budaya
dan agama. Rekonsilasi ini menuntut umat Islam memahami wahyu dengan
mempertimbangkan fàktor-fakror kontekstual termasuk kesadaran hukum dan rasa
keadilannya. Maka beberapa argumen yang dikemukakan Abdurrahman Wahid dalam
mempertahankan tawaran pribumisasi Islam. Pertama, alasan historis bahwa
pnibumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam baik di negeri asalnya
maupun di negana lain termasuk Indonesia. Di sini menunjukkan bahwa Islam
rnengalami proses pergulatan dengan kenyataan-kenyaraan historis. Proses ini, kata
Abdurrahman Wahid, tidak mengubah Islam tetapi mengubah manifestasi dari
kehidupan agama Islam. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih
dengan adat. Dalam kaidah fiqih dikenal misalnya al-’adah muhakkamah (adat-istiadat
menjadi hukum). Dalam hal ini kata Abdurrahman Wahid, adat tidak mengubah nash,
melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya.
Temuan-Temuan dan Penutup
Nurcholish Madjid dan Ahdurrahman Wahid adalah intelektual neomodernisme.
Neomodernisme ini jika dilacak asal-asulnya bersumber dari paradigma pemikiran
Fazluiur Rahman. Rahman sendiri memetakkan empat gerakan pembaruan Islam yang
pernah muncul sepanjang dua abad dalam dunia Islam. Pertama, gerakan revivalisme
Islam, yang ditandai dengan gerakanWahabisme dan Sanusisme. Kedua, gerakan
modernisme Islam atau modernisme klasik. Ketiga, gcrakan neo-revivalisme atau
neo-fundamentalisme. Keempat, gerakan neomodernisme. Gerakan terakhir ini
muncul di kalangan intelektual muda yang ingin kembali pada semangat modernisme
awal, namun mencari kombinasinya dengan warisan kekayaan keilmuan Islam klasik.
Neomodernisme muncul sebagai respons terhadap berbagai kelemahan yang melekat
dalam gerakan pembaruan sebelumnya. Menurut Fazlur Rahman, meskipun
modemisme klasik benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan.
Pertama, ia belum menguraikan secara tuntas metodenya yang semi-implisit terfokus
dalam menangani masalah-rnasalah khusus dan belum menguraikan implikasi da
prinsip-prinsinp dasar yang dibangunnya. Mungkin lantaran perannya sebagai
reformis terhadap masyarakat Muslim dan sebagai kontroversialis-apologetik
terhadap Barat telah menjadikannya terhalang untuk melakukan inrerpretasi
sistematis dan menyeluruh terhadap Islam dan menyebabkannya membahas beberapa
Fakultas Ushuluddin - 10 / 13 - 03.08.2010
11
masalah penting di Barat secara ad hoc.
Kedua, masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah-masalah bagi
dunia Barat sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa para modernis klasik telah
terbaratkan dan merupakan agen-agen westernisasi.
Gerakan pembaruan harus selalu berjalan dan metodenya harus selalu diperbarui
dalam rangka mengembangkan pola pemahaman keislaman yang dinamis-responsif
dan menampung dimensi-dimensi perubahan yang dialami umat manusia. Gerakan
pembaruan sejalan dengan prinsip Islam yang sangat mendorong
pandangan-pandangan dinamis.
Gerakan pembaruan pemikiran Islam secara umum ditandai dengan
pemikiran-pemikiran kritis terhadap modernisasi (Barat). Hasilnya berupa tawaran
alternatif-alternatif non-Barat dalam membangun dan rnembangkitkan umat Islam
dari ketertinggalannya. Kebangkitan Islam merupakan isu yang tumbuh dari sikap
kritis para pembaru Muslim dan di dalamnya mencakup gerakan-gerakan intelektual
dan sosial-politik cukup beragam, yang meliputi: neo-tradisionalisme (Sayyed Hossein
Nashr) dengan kecenderungan bersikap reserve terhadap modernisme;
neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme Islam (Al-Maududi, Sayyid Qutb dan
Hassan al-Banna) dengan kecenderungan lebih bersikap reaktif dan anti-Barat serta
neomoderninne (Faziur Rahman) yang menampilkan citra revisionistik terhadap
reformisme modernis.
Neomodernisme di Indonesia seperti tercermin dalam pemikiran Nurcholish Madjid
dan Abdurrahman Wahid memiliki beberapa karakteristik.
Pertama, ia berwatak progresif. Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif
terhadap pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis
dalam memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa optimis tentang
ke arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi jalannya perubahan
sosial yang begitu cepat.
Kedua, neomodernisme seperti halnya fundamentalisme adalah respons rerhadap
modernitas, gangguan globalisasi peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia
Islam. Tidak seperti fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur,
neomodernisme tidak merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau tidak
menekankan identitas diri yang terpisah. Neomodernisme secara cerdas dapat
mendekati keilmuan dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan. Kritik rerhadap bagian tertentu budaya Barat bukan berarti hal itu tak
dapat direkonsialisikan. Neomodernisme ridak hanya membela ide-ide liberal Barat
seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara,
namun menekankan bahwa ide-ide Islam ini memberi warisan umum rerhadap Barat.
Ketiga, pemikiran neomodernisme Indonesia menganjurkan jenis sekularisme khusus
yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Indonesia, sehingga keinginan
sektarianisme keagamaan tetap terpisah dari keinginan negara atau ada keterpisahan
agama dengan negara. Neomodernisme Indonesia berargumentasi bahwa al-Quran
dan Hadits tak berisi blue print tentang negara Islam atau tidak menetapkan bahwa
Fakultas Ushuluddin - 11 / 13 - 03.08.2010
12
negara agama adalah perlu atau mungkin. Atas pemikiran ini, Nurcholish Madjid
pernah melontarkan ide kontroversial sekulariasi dan desakralisme. Sekularisasi
adalah usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah duniawi dan melepaskan
umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.[93]
Keempat, neomodernisme menghadirkan sebuah kererbukaan, inklusivitas, dan
pemahaman liberal Islam yang dapat direrima oleh segala kalangan, pengakuan
pluralisme sosial, penekanan perlunya toleransi, dan hubungan harmonis di kalangan
masyarakar.
Kelima, neomodernisme dimulai dengan semangat kembali pada abad modernisme
(Muhammad Abduh) dengan memerhatikan rasionalitas dalam kegiatan ijtihad
ataupun upaya individual dalam interpretasi nash. Kalangan neomodernisme
mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan
masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk
merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad
ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme menyintesiskan tradisi keilmuan Islam,
tuntutan modernis tentang ijtihad, tuntutan ilmu sosial Barat, dan kemanusiaan.
Mereka bisa melakukan upaya ini karena mereka berlatar belakang tradisionalis
(pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab
dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan demikian, secara simultan
neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar modernisme dan
menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat.[94]
Daftar Pustaka
Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual
Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist
Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hamzah, Imran dan Anam, Chairul (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai.
Surabaya: PT Jawa Pos, 1989.
Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Narwoko, J. Dwi – Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam,
Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Fakultas Ushuluddin - 12 / 13 - 03.08.2010
13
This entry was posted on Friday, July 2nd, 2010 at 5:02 pm and is filed under Artikel
You can follow any responses to this entry through the Comments (RSS) feed. Responses
are currently closed, but you can trackback from your own site.
Fakultas Ushuluddin - 13 / 13 - 03.08.2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar