Keluarga Besar Al Yamani

Kamis, 23 Desember 2010

anam


PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
TERHADAP PERILAKU BERAGAMA SISWA
SLTP FUTUHIYYAH MRANGGEN TAHUN AJARAN 2006/2007


PROPOSAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Dosen Pengampu: Drs. H. Soediyono, M. Pd.









Oleh :

EDI HARIYANTO
3105324


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
TERHADAP PERILAKU BERAGAMA SISWA SLTP FUTUHIYYAH MRANGGEN TAHUN AJARAN 2006/2007

A.           Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena pendidikan memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu selain mengasuh, mendidik, atau memelihara anak, pendidikan juga merupakan pengembangan keterampilan, pengetahuan maupun kepandaian melalui pengajar, latihan-latihan atau pengalaman. Lebih jauh pendidikan juga dapat mengembangkan intelektual serta akhlak anak didik yang dilakukan secara bertahap.
Sementara itu tujuan pendidikan Islam secara garis besarnya adalah membina manusia agar menjadi hamba Allah yang shaleh dengan seluruh aspek kehidupan, perbuatan, pikiran, dan perasaannya.[1]
Pendidikan berarti proses penyampaian nilai-nilai baik sosial kemasyarakatan maupun moral keagamaan, yang kemudian dilanjutkan dengan proses pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap nilai-nilai tersebut sebagaimana yang ia telah terima, sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan pribadinya semaksimal mungkin.
Perkembangan pribadi (perilaku) anak dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal, baik lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga tempat di mana anak menerima pendidikan dan pengajaran secara informal.
Peran serta keluarga di mana pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama, tempat anak duduk menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya ataupun anggota keluarga lainnya,[2] dan merekalah yang pertama-tama mengajarkan kepada anak pengetahuan Allah, pengalaman tentang pergaulan manusiawi, dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.[3] Di sinilah sangat penting bagi keluarga untuk melaksanakan tanggung jawab untuk mendidik dan memelihara anak-anaknya, sebagaimana firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (At-Tahrim: 6)
Pengalaman religius (keagamaan) seorang anak erat dengan sikap terhadap agama dan keyakinan yang diperlihatkan di dalam rumah. Anak yang tumbuh dalam lingkungan rumah yang tidak religius biasanya mendapatkan pandangan atau pemikiran tentang Tuhan dan agama dari kawan-kawan sepermainan, guru atau sahabatnya yang pendidikan rumah mereka disertai dengan pengetahuan-pengetahuan atau ilmu keagamaan. Ini berarti bahwa orang tua sangat berperan dalam keyakinan keagamaan seorang anak.[4]
Notabene dari keluarga yang latar belakangnya berbeda antara siswa yang satu dengan yang lain mengakibatkan pendidikan tentang agama yang mereka peroleh berbeda. Maka secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku keagamaan siswa. dengan kata lain perilaku muncul karena adanya pendidikan yang mereka peroleh dalam keluarga.
Maka dari itu penanaman pendidikan agama dalam keluarga sangat dibutuhkan dan dilaksanakan sedini mungkin, dari setiap stimulus yang datang dan diterima oleh anak dari orang dewasa haruslah mengandung unsur-unsur pendidikan yang kondusif dengan memberikan nilai-nilai yang positif bagi perkembangan anak, agar manusia dapat bersyukur atas nikmat dan anugerah Allah, dalam arti menggunakan dengan sebaik-baiknya, perlu bantuan dari luar dirinya yaitu pengaruh lingkungan yang positif dan yang mendidik.[5]
Dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk membahas judul PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA TERHADAP PERILAKU BERAGAMA SISWA SLTP FUTUHIYYAH MRANGGEN TAHUN AJARAN 2006/2007.

B.            Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis menarik permasalahan sebagai berikut:
1)             Bagaimana pendidikan agama dalam keluarga siswa SLTP Futuhiyyah Mranggen Tahun Ajaran 2006/2007?
2)             Bagaimana perilaku beragama siswa SLTP Futuhiyyah Mranggen Tahun Ajaran 2006/2007?
3)             Bagaimana pengaruh pendidikan agama dalam keluarga terhadap perilaku beragama siswa SLTP Futuhiyyah Mranggen Tahun Ajaran 2006/2007?

C.           Kajian Pustaka
Sejauh pengetahuan penulis, dari berbagai literatur yang penulis baca terdapat berbagai buku yang membahas tentang pendidikan agama dalam keluarga dan perilaku beragama, untuk mendukung penelitian tersebut maka penulis kemukakan literatur sebagai kajian pustaka di antaranya:
Penelitian yang dilakukan oleh Muhkisin, Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tentang Pendidikan Berbasis Keluarga (Study tentang Pendidikan Lukman Hakim). Penulis memaparkan beberapa permasalahan antara lain siapa Lukman Hakim, bagaimana pendidikan keluarga, dan bagaimana karakteristik pendidikan Lukman Hakim. Pertama, Lukman Hakim adalah seorang tokoh yang bijak yang diakui secara luas, mempunyai ilmu yang cukup, dan konsisten dalam melaksanakan pendidikan. Prinsip-prinsip ajarannya adalah pemenuhan kebutuhan manusia sepanjang kehidupannya. Kedua, keluarga merupakan tempat penting dalam upaya membentuk dan mengembangkan potensi fitrah yang dimiliki anak. Ketiga, karakteristik pendidikan Lukman yang bersifat informatif, transformatif, antisipatif dan eksploratif, seharusnya menjadi modal dasar bagi orang tua di era global ini, dan merupakan bekal dan modal membangun citra diri dan masa depan anak.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Chabib Thoha dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Pendidikan Keluarga terhadap Keberhasilan Belajar Siswa SMUN Kotamadya Semarang, adapun yang dibahas dalam tesis tersebut adalah pendidikan agama dalam keluarga seperti apakah yang dapat membentuk sikap ketaqwaan kepada Allah bagi anak, pola asuh yang seperti apakah yang sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam, dan pengaruhnya terhadap kemandirian anak. Dalam penelitiannya Chabib Thoha menjelaskan bahwa sebagai realisasi terhadap tanggung jawab orang tua dalam mendidik anaknya, dan ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pendidikan antara lain pendidikan ibadah, mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam dan melatih shalat, pendidikan akhlakul karimah, juga pendidikan akidah Islamiyah sebagai tiang pendidikan Islam.
Begitu juga dengan hasil penelitian dari Hani’an Maria tentang Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Tingkah Laku Keagamaan Peserta Didik MTs NU 6 Sunan Abirawa Penanggulan Pegandon Kendal, dalam penelitian bahwa keharmonisan dalam keluarga harus diciptakan dengan penuh kasih sayang. Dari hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara keharmonisan keluarga terhadap tingkah laku keagamaan siswa dengan hasil korelasi sebesar 0,4425 dan nilai korelasi dalam tabel sebesar 0,207 dan 0,270 dalam taraf signifikan 5% dan 1%.
Pada umumnya penelitian tentang pendidikan agama dalam keluarga sudah banyak dikaji, namun dalam penelitian kali ini penulis mencoba mencari signifikansi dari pendidikan agama dalam keluarga dengan perilaku beragama anak, dan apakah pendidikan yang diberikan oleh keluarga dengan melalui pembiasaan, nasihat (bimbingan), perhatian, serta teladan orang tua yang diberikan pada anak dapat mempengaruhi perilaku beragama anak.


D.           Rumusan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis ada ketika peneliti telah mendalami masalah penelitian serta menetapkan anggapan dasar dan membuat teori yang bersifat sementara dan perlu diuji kebenarannya.[6]
Selanjutnya berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut. Pendidikan agama dalam keluarga memberikan pengaruh positif atau pengaruh yang signifikan terhadap perilaku beragama siswa di SLTP Futuhiyyah Mranggen Tahun Ajaran 2006/2007. Atau dengan kata lain semakin baik pendidikan agama dalam keluarga semakin baik pula perilaku beragama siswa.

E.            Metode Penelitian
1)             Metode Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai dengan menggunakan teknik analisis regresi yakni analisis regresi satu prediktor.
2)             Variabel dan Indikator
Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengambil dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
1.             Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel bebas (independent variable) merupakan variabel yang berperan memberikan pengaruh. Dalam hal ini yang menjadi variabel bebas (x) yakni pendidikan agama Islam dalam keluarga dengan indikator sebagai berikut:
a)             Pendidikan ubudiyah dengan indikator:
-                 Mengajarkan tentang shalat.
-                 Mengajarkan tentang puasa.
b)             Pendidikan akhlak dengan indikator:
-                 Mengajarkan berbuat baik terhadap orang tua.
-                 Mengajarkan berbuat baik terhadap orang lain.
-                 Mengajarkan berbuat baik terhadap lingkungan atau alam.
2.             Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat (dependent variable) sebagai variabel yang mendapatkan pengaruh. Dalam hal ini yang menjadi variabel terikat (y) adalah perilaku beragama, dengan indikator:
a)             Yang berhubungan dengan ibadah
-                 Shalat fardhu.
-                 Puasa Ramadhan.
b)             Yang berhubungan dengan akhlak
-                 Berbuat baik terhadap orang tua.
-                 Berbuat baik terhadap orang lain.
-                 Berbuat baik terhadap lingkungan atau alam.
3)             Teknik Pengambilan Sampel
Peneliti dalam menentukan jumlah sampel berdasarkan nomogram Hery King dengan persentase populasi sebesar 25% dari 594 adalah 148,5 siswa dan untuk lebih mudah maka dibulatkan menjadi 150 siswa.
Agar representatif dalam pengambilan sampel, digunakan teknik random sampling atau random sampel yakni dalam tiap-tiap individu dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel. Pemilihan sekelompok berdasarkan ciri yang belum diketahui sebelumnya.
4)             Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka dibutuhkan teknik pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik library research (riset kepustakaan) yang digunakan untuk memperoleh data dan menelaah teori-teori yang berhubungan dengan tema penelitian di atas, sekaligus sebagai landasan teori. Dan teknik field research (riset lapangan) adalah data yang diperoleh dari lapangan. Dengan menggunakan metode sebagai berikut:
1.             Metode Observasi
Observasi yaitu suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.[7]
Metode ini digunakan untuk mengamati langsung keadaan gedung sekolah, dan kegiatan lainnya siswa di SLTP Futuhiyyah Mranggen Tahun Ajaran 2006/2007.
2.             Metode Interview
Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang keadaan sekolah meliputi sejarah sekolah, tujuan berdirinya sekolah, keadaan guru dan siswa, sarana dan prasarana yang ada di SLTP Futuhiyyah Mranggen Tahun Ajaran 2006/2007.
3.             Metode Kuesioner
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang pendidikan agama dalam keluarga yang meliputi melaksanakan shalat, puasa, membantu orang tua, taat kepada orang tua, memberi salam kepada orang yang bertamu. Dan untuk mendapatkan data tentang perilaku keagamaan antara lain melaksanakan shalat fardhu dan puasa Ramadhan, berbuat baik terhadap orang tua dan sesama manusia. Yang ditujukan hanya untuk siswa SLTP Futuhiyyah Mranggen Tahun Ajaran 2006/2007 sebagai responden untuk menjaring variabel x maupun variabel y.
4.             Metode Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengetahui tentang struktur organisasi sekolah dan sebagainya yang berhubungan dengan administrasi sekolah dan juga keadaan siswa. sumber ini diperoleh dari kepala sekolah dan guru tata usaha.
5.             Teknik Analisis Data
Dalam analisis data ini menggunakan analisis statistik dengan rumus analisis regresi satu prediktor dengan rumus sebagai berikut:
Sumber
Variasi
db
JK
RK
Freg
Regresi
1
Residu
N-2
Total
N-1
-

Setelah menganalisis dilakukan analisis uji hipotesis dengan mengkonsultasikan hasil perhitungan Freg dengan nilai (F tabel 5% atau 1%) dengan kemungkinan:
-                 Jika Freg lebih besar dari F t 5% atau 1% maka signifikan (hipotesis diterima).
-                 Jika F reg lebih kecil dari F t 5% atau 1% maka nonsignifikan (hipotesis tidak diterima).









DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998).
Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Rumaha, 1993).
J. Drost, Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 1999).
Hadi, Sutrisno, Statistik, jilid 2, cet. 18, (Yogyakarta: Andi, 2001).
Kurniawan, Yedi, Pentingnya Pendidikan Anak Sejak Dini Hingga Masa Depan, (Jakarta: CV Firdaus, 1993).
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).



[1] Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Rumaha, 1993), hlm. 35.
[2] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 177.
[3] J. Drost, Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 14.
[4] Yedi Kurniawan, Pentingnya Pendidikan Anak Sejak Dini Hingga Masa Depan, (Jakarta: CV Firdaus, 1993), hlm. 24.
[5] Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 54.
[6] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 67.
[7] Sutrisno Hadi, Statistik, jilid 2, cet. 18, (Yogyakarta: Andi, 2001), hlm. 223.

Selasa, 07 Desember 2010

Jumat, Desember 18, 2009

Makna 1 Suro Bagi Masyarakat Jawa

mbah gendeng, mbah gendeng, mbah gendeng, mbah gendeng, mbah gendengMasih tetap dalam rangka menyemarakkan Djarum BLCK Blog Competition, kali ini Kang Sugeng akan membagikan sedikit pengetahuan tentang Kasusastran Jawi yg memang makin lama makin memudar seiring dengan perkembangan jaman. Tentu saja akan lebih nikmat kalau dalam membaca BLCK In News kali ini, disediakan secangkir kopi dan sebungkus Djarum BLCK Slimz (bagi yg merokok), sebagai pelengkapnya.

Biasanya, menjelang tahun baru seperti ini, kita pasti melakukan berbagai macam kegiatan untuk menyambutnya. Dan kegiatan tersebut tentunya ndak lepas juga dari upaya introspeksi diri dan harapan-harapan. Introspeksi diri itu dilakukan tentunya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah perbuatannya itu sudah bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat atau justru malah merugikan orang lain? Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya harus diperbaiki dong di tahun baru ini. Bukan malah merayakannya dengan tujuan hanya ingin bersenang-senang saja. Memang sih untuk memahami makna tahun baru, pada akhirnya harus dikembalikan juga ke diri kita masing-masing sebagai pencipta budaya itu sendiri.

Begitu juga ketika menjelang Tahun Baru Jawa (Suro), masyarakat Jawapun punya harapan-harapan yg lebih baik di tahun baru yg akan datang dan tentunya juga melakukan introspeksi terhadap tindakan-tindakannya di masa silam. Kegiatan-kegiatan yg berkaitan, baik menjelang maupun selama bulan Suro ini jelas tidak terlepas juga dari introspeksi dan harapan-harapan itu. Namun dalam perkembangannya sering mengalami pergeseran persepsi.

Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo.
Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).

Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Cara yg dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Poso (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yg memeluk agama Islam.
Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek-lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun, pinggir pantai, dan sebagainya.

Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu.
Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.

Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yg sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yg awam terhadap budaya tradisional, ndak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro ini. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi benteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka ndak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro itu ndak ada bedanya dengan bulan-bulan yg lain.
Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, saya juga ndak tahu. Namun yg jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa ndak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yg percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yg konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.

Aneh memang, itulah kepercayaan. Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang punya cara lain lagi dalam memaknai bulan Suro ? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.
Sumber data : Seloka - Komunitas Seni Tradisi Indonesia, "SATU SURO TAHUN BARU JAWA" http://seloka.uni.cc/index.php?topic=234.0

MALAM SATU SURO…

Malam Satu Suro
Belajar menelusuri sejarah, tradisi dan budaya yang masih melekat erat di kalangan rakyat Ngayogyokarto Hadiningrat. Sembari jalan-jalan menelusuri Yogyakarta di waktu malam, malam satu Suro, menjadi momen yang tepat. Malam satu Suro, bagi sebagian orang jawa dikaitkan dengan hal-hal mistis dan berfilosofis. Sebenarnya, diluar liputan, ada banyak latar belakang historis peristiwa penting yang terjadi di bulan Suro, khususnya penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu.
Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di jaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.
Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul. Lebih detail tentang riwayat malam Satu Suro bisa dibaca.
Bulan Muharam dalam Konteks Historis
Dalam sejarah Islam, Muharam memiliki tradisi panjang sebagai sebagai salah satu bulan suci. Ada banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan ini, di antaranya: Dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, pemindahan arah kiblat dari Jerussalem ke Mekah pada 16 Muharam, dan terbunuhnya cucu kesayangan Rasulullah, Imam Husein bin Ali di Karbala pada tahun 81 H/680 M.
Kasus terakhir ini menimbulkan duka mendalam bagi penganut Syiah. Terbunuhnya Imam Husein oleh pasukan Yazid bin Muawiyyah pada bulan Muharam, melahirkan sebuah kepercayaan baru dikalangan Syiah, yang menganggap Muharam sebagai bulan kesedihan dan bulan sial. Dalam perkembangan selanjutnya, penganut Syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi Karbala, berupa majelis-majelis ratapan yang berpuncak pada 10 Muharam (10 Asyura), tepat di hari wafatnya Imam Husein. Entah mengapa keyakinan seperti ini kemudian berimbas pula pada sebagian penganut Sunni termasuk di Indonesia yang menganggap bulan Muharam adalah bulan keramat yang sekaligus bulan kesialan, sehingga banyak melahirkan praktik-praktik khurafat dan bid’ah.
Padahal, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa pada mulanya Rasulullah saw mempercayai keterangan orang Yahudi bahwa hari Asyura (dalam tradisi Arab disebut “Asyura” pula), yakni tangal 1 Bulan Tishri, adalah “yaumun shalihun.” Jadi, hari yang tertanggal tersebut bukanlah hari sial, bahkan disebut “hari yang baik” (yaumun shalihun). Justru, pada hari itu dianggap sebagai salah satu hari “penebus dosa” dengan cara berpuasa.
Tradisi Jawa
Malam hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual menjelang 1 Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing, dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan demikian, warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendangatau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit.Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.
Pantai Parangkusumo
Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian saya untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan saya salah. Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini yang saya dapat dari penuturan warga sekitar.
Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat tradisional dan -kalau saya tidak salah mengartikan-“wanita pendamping” tampak bertebaran menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.
Wayang Kulit Semalam Suntuk
Tradisi dan warisan budaya jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.
Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi khidmatnya pagelaran wayang malam itu.
Cepuri Parangkusumo
Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.
Kembang, dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat keramat macam ini. Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang dan berdoa di tempat ini, ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.
Diantara rombongan peziarah yang silih berganti masuk ke area Cepuri, ada seorang pemuda yang dengan khusyuk nya berdoa di sebelah batu Panembahan Senopati dengan pakaian jawa lengkap. Awalnya, saya, dan mungkin pengunjung lain, mengira beliau adalah juru kunci. Namun, sang juru kunci sendiri duduk bersila tepat di depan gapura setelah pengunjung masuk. Tiap pengunjung yang masuk wajib menemui juru kunci dan menyalakan dupa, sebelum menabur bunga dan berdoa.
Rombongan peziarah yang nampak berbeda dari sebagian lainnya adalah rombongan peziarah dari Kraton Solo, begitu informasi dari penduduk sekitar. Mereka menggunakan pakaian jawa lengkap dengan sesaji dibungkus kain putih dan hijau, duduk bersila disamping dua batu tersebut.
Puro Pakualaman
Pagelaran wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di pelosok kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua” di kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan malam satu Suro dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan pesisir Parangkusumo, di Puro Pakualaman ini, warga yang hadir hanya ditampung secara “resmi” dengan sebuah tenda. Selebihnya warung dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di halaman Kraton pun tak lepas menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.
Bahkan, warga yang datang dengan kendaraan roda dua pun enggan beranjak dari atas sepeda motornya, dan terlihat sangat menikmati sajian wayang kulit semalam suntuk. Begitu pula dengan penarik becak. Masih duduk di atas sadel tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini. Bahkan kursi penumpangnya pun dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya untuk duduk berselimut sarung dan menikmati malam panjang itu.

Senin, 06 Desember 2010


Masih tetap dalam rangka menyemarakkan Djarum BLCK Blog Competition, kali ini Kang Sugeng akan membagikan sedikit pengetahuan tentang Kasusastran Jawi yg memang makin lama makin memudar seiring dengan perkembangan jaman. Tentu saja akan lebih nikmat kalau dalam membaca BLCK In News kali ini, disediakan secangkir kopi dan sebungkus Djarum BLCK Slimz (bagi yg merokok), sebagai pelengkapnya.

Biasanya, menjelang tahun baru seperti ini, kita pasti melakukan berbagai macam kegiatan untuk menyambutnya. Dan kegiatan tersebut tentunya ndak lepas juga dari upaya introspeksi diri dan harapan-harapan. Introspeksi diri itu dilakukan tentunya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah perbuatannya itu sudah bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat atau justru malah merugikan orang lain? Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya harus diperbaiki dong di tahun baru ini. Bukan malah merayakannya dengan tujuan hanya ingin bersenang-senang saja. Memang sih untuk memahami makna tahun baru, pada akhirnya harus dikembalikan juga ke diri kita masing-masing sebagai pencipta budaya itu sendiri.

Begitu juga ketika menjelang Tahun Baru Jawa (Suro), masyarakat Jawapun punya harapan-harapan yg lebih baik di tahun baru yg akan datang dan tentunya juga melakukan introspeksi terhadap tindakan-tindakannya di masa silam. Kegiatan-kegiatan yg berkaitan, baik menjelang maupun selama bulan Suro ini jelas tidak terlepas juga dari introspeksi dan harapan-harapan itu. Namun dalam perkembangannya sering mengalami pergeseran persepsi.

Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo.
Eling
artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).

Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Cara yg dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Poso (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yg memeluk agama Islam.
Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek-lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun, pinggir pantai, dan sebagainya.

Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu.
Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.

Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yg sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yg awam terhadap budaya tradisional, ndak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro ini. Mereka umumnya hanya
ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi benteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka ndak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro itu ndak ada bedanya dengan bulan-bulan yg lain.
Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, saya juga ndak tahu. Namun yg jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa ndak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yg percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yg konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.

Aneh memang, itulah kepercayaan. Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang punya cara lain lagi dalam memaknai bulan Suro ? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.