Keluarga Besar Al Yamani

Kamis, 17 Maret 2011

ppdi5

Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Gerakan Neomodernisme Islam Di Indonesia
admin · Friday, July 2nd, 2010
(Perspektif Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid)
Oleh: Hamzah Tualeka Zn
Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
Abstract: This study discusses the discourse on Islamic neo-modernism movement in
Indonesia represented by Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid. It also explains
neo-modernism movement in the late 19th century and early 1970th, especially
movement that conducted by student came from traditional Muslim. Students are first
generation of traditional Muslim whose access to better and higher education after
educational expansion in the post-colonial in Indonesia. For the first time, they call
their movement as Islamic thought reform. But, Fazlur Rahman’s modern thought
influences this movement and changes it into neo-modernism. Nurcholish Madjid and
Abdurrahman Wahid are two Indonesian scholars who adopt Rahman’s thought in
Indonesia value. According to them, neo-modernism is respond to modernism
weakness.
Keywords: Islamic neo-modernism, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid
Pendahuluan
Nabi Muhammad saw pernah menyatakan bahwa urusan duniawi diserahkan
sepenuhnya kepada umat Islam, karena mereka dianggap lebih mengetahuinya. Ia pun
menyatakan bahwa iman seseorang itu dapat bertambah dan dapat pula berkurang.
Semua orang bersepakat bahwa kehidupan sosial tidaklah statis, tetapi selalu berubah
secara dinamis. Tetapi, tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama dalam
mengartikan perubahan soial, bahkan konsep perubahan sosial sempat diberi makna
intuatif dan sebagai suatu mitos belaka. Suatu cara pandang konservatif menganggap
bahwa perubahan sosial sebagai suatu penyimpangan sosial. Yang termasuk ke dalam
aliran konservatif ini adalah paradigma struktural-fungsional. Dalam melihat
perubahan, aliran ini lebih memperhatikan struktur daripada proses, dan ketika
Fakultas Ushuluddin - 1 / 13 - 03.08.2010
2
sampai pada analisis proses pun ternyata yang dikaji hanya kondisi struktural yang
sempit. Dalam perkembangannya pun para ahli memperlihatkan perbedaan dalam
memahami perubahan sosial. Pemaknaan konsep perubahan sosial pun hingga kini
masih menjadi problem.[77]
Tulisan ini mengangkat Gerakan Neomodernisme di Indonesia dengan menyoroti
pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
Perpaduan Tradisionalisme dan Modernisme
Seorang Indonesianis asal AS, Greg Barton, telah menulis sebuah artikel yang
menyoroti eksistensi pemikiran neomodernisme yang diasosiasikan kepada kedua
intelektual muslim, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Artikel yang diberi
judul “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama:
The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”,
menguji pengaruh gerakan pemikiran neomodernisme sebagai sebuah gerakan
pemikiran Islam baru di Indonesia yang muncul secara kontroversial pada permulaan
tahun 1970-an – terhadap perkembangan pemikiran keislaman, khususnya di kalangan
intelektual muda muslim.[78] Paper Greg Berton ini mempertegas bahwa gerakan
pemikiran baru ini hadir dengan memadukan tradisionalisme Islam, modernisme dan
pendidikan Barat. Gerakan pemikiran ini dikembangkan oleh generasi pemikir yang
berlatar belakang tradisionalis. Semasa mudanya mereka mengenyam pendidikan
keagamaan pesantren dan pergi untuk mengadopsi corak pemikiran Barat modern
dan perguruan tinggi.
Meskipun secara geografis berada di pinggiran, namun secara objektif tidak dapat lagi
dikatakan kurang berperan dalam dunia Islam. Dengan jumlah penduduk melebihi 200
juta, 88 persennya (sekitar 175 juta) adalah muslim, Indonesia dianggap sebagai
negara muslim terbesar. Namun demikian, 60 persen penduduk Islam Indonesia di
Jawa perlu diteliti karena sebagian corak keberagamannya masih dicampuri
elemen-elemen pra-Islam seperti Hindu-Buddha dan kepercayaan animisme. Contoh
klasik tentang penelitian ini dapat dilihat dalam buku terkenal Clifford Geertz, The
Religion of Java. Meskipun dalam buku itu Geertz memberikan deskripsi secara
mengagumkan tentang kehidupan suatu kampung di Jawa Timur pada tahun 1950-an,
namun ia membuat beberapa kesalahan serius dalam analisisnya.[79]
Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin
tradisional telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern. Pada periode
ini aktivitas partai politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern.
Beberapa ulama jebolan pesantren telah menempuh berbagai pendidikan modern.
Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun 1950 telah berhimpun dengan
organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi. Mereka sebelumnya
telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan tangan dalam
wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama
berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada
tahun 1952 dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik
independen.
Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas
Fakultas Ushuluddin - 2 / 13 - 03.08.2010
3
memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu
tradisionalisme dan modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa
pernah muncul dari kalangan tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid
Hasyim, yang sebelum meninggal dalam kecelakaan mobil 1953 mampu membangun
komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.
Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah
memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu
organisasi dari kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan
sejarah atas pembangunan sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan
ketika berbagai kesulitan menimpa bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa
intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh pendidikan Islam klasik tentang
Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di antara mereka ada
sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai pemikiran
ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.
Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para
alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai
memasuki dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman
Wahid adalah generasi pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini.
Lingkungan keilmuan Islam klasik dan Modern (Barat) secara bersama-sama
membawa pengaruh kuat bagi keduanya.[80]
Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem IAIN dalam mereformasi Islam
benar-benar penting. Pembentukan IAIN, yang diawali dengan IAIN Syarif
Hidayatullah di Ciputat Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara
tidak langsung memberi kesempatan pertama bagi mayoritas keluaran pesantren
untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Sejak tahun 1960-an IAIN tetap
mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar. Secara pelan-pelan, proses
perubahan nampak dengan transformasi IAIN menjadi lembaga yang
mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian
modern. Dengan masuknya Harun Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali
di IAIN Sunan Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di
kalangan mahasiswa dengan mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk
terhadap dasar-dasar keimanan serta menggunakan pendekatan kritis dalam kajian
keislaman.
Sebagai generasi tua, merekalah yang membukakan jalan bagi generasi muda
pemikir-pemikir Islam untuk tampil ke depan. Abdurrrahman Wahid dan Nurcholish
Madjid sebagai representasi utama dari generasi muda itu. Nurcholish Madjid yang
lahir pada tahun 1939 dan Abdurrahman Wahid yang lahir pada tahun 1940 adalah
orang-orang yang tengah memasuki usia remaja saat Soeharto muncul sebagai
penguasa.
Neomodernisme
Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an, terutama di
kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini
merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada
Fakultas Ushuluddin - 3 / 13 - 03.08.2010
4
pendidikan tinggi dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang
berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di
antara mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa yang berorientasi modern
(HMI).
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan
pemikiran Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme,
dengan mengikuti paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah
keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari
l970 yang intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru,
sehingga perlu dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu
menggunakan terma desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga dengan
mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari berbagai pihak. Kritik itu terurama
datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh kritikan Nurcholish Madjid
yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah mandek dan perlu
direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah.[81]
Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid
semakin meningkat.[82] Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang
berporos pada Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide
pembaruan dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan
kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya
diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap
sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain
berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid
sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu.
Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan
kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat
dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan
inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang
kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa
kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
Profil Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid
1. Nurcholis Madjid
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah pelopor pembaruan dan memiliki
garis keturunan dari keluarga seorang pembaru. Ayah Nurcholish Madjid, Abdul
Madjid ayah Abdurrahman Wahid, Wahid Hasyim adalah kawan dekat dam memiliki
hubungan keluarga melalui jalur perkawinan. Keduanya merupakan tokoh terkemuka
Fakultas Ushuluddin - 4 / 13 - 03.08.2010
5
di masyarakat Muslim tradisional di Jombang Jawa Timur, salah satu pusat NU
terpenting. Abdul Madjid memilih tetap tinggal di Jombang dan tetap berafiliasi
dengan Masyumi, meskipun NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Sedangkan
Wahid Hasyim mengikuti jejak sang ayah Muhammad Hasyim Asy’ari dengan menjadi
tokoh nasional melalui kepemimpinannya di NU.[83]
Pendidikan yang dilalui Nurcholish Madjid sejak anak-anak cukup lengkap. Ia pergi ke
Sekolah Rakyat pada waktu pagi untuk memperoleh pendidikan sekuler dan pergi ke
Madrasah al-Wathaniyah pada sore hari untuk memperoleh pendidikan keagamaan.
Dia selanjutnya belajar di Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang selama dua tahun,
belajar di Pesantren Gontor selama 6 tahun, IAIN Syarif Hidayatullah, dan meraih
gelar master dan Doktor di Universitas Chicago.
Gebrakannya di kancah pemikiran diawali pada ranggal 3 Januari 1970 saat
memimpin HMI dengan meneriakkan adagium Islam yes! Partai Islam no! Idenya ini
menekankan bahwa Islam tidak memiliki gagasan tentang negara Islam. Ide-ide
pembentukan negara Islam di era modern tak lebih dari respons apologis rerhadap
Barat, bukan hasil interpretasi rasional terhadap ajaran Islam. Baginya, tak bijak
kalau kita beraktivitas di parpol dengan menjauhi pelayanan sosial. Jadi, perjuangan
Islam bisa lewat jalur non-politik.
Yang menarik untuk dicermati pada sosok Nurcholish Madjid adalah ketika dia
berkampanye untuk PPP pada pemilu 1977. Alasan dia mendukung PPP pada waktu
itu adalah Indonesia memerlukan partai oposisi yang kuat dan sebagai
konsekuensinya PPP dan PDI memerlukan kekuatan supaya bisa menjadi kekuatan
penyeimbang terhadap dominasi Golkar. Politik Indonesia mirip becak dengan tiga
rodanya. Dia perlu memompa ban kempes agar dapat berjalan kembali.
Sepulang dari studinya di USA (1984) Nurcholish Madjid menjadi staf pengajar di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menjadi figur kunci dalam proses reformasi IAIN
yang telah digagas Harun Nasution. Di bidang pemikiran, Nurcholish Madjid mulai
mengelaborasi konsep-konsep pembaruan yang pernah dikemukakannya dan
mengetengahkan hal-hal baru bagi umat. Sikap anti-tradisionalisme misalnya,
belakangan dimaknai bukan dengan menggantikan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai
baru, melainkan bahwa tradisi dan modenitas adalah proses kontinuitas.
Meninggalkan tradisi lama, kata Nurcholish Madjid akan menimbulkan fitnah jump to
conclusion (kesimpulan yang melompat) karena mengambil pokoknya saja tanpa
memahami latar belakangnya. Gejala inilah yang menghinggapi kaum modernis Islam
sekarang. Dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, Nurcholish Madjid lagi-lagi
mengkritik bahwa kaum modernis Islam terancam mengalami intelctual
impoverisment (pemiskinan intelektual).
Dalam pcngamatan Nurcholish Madjid, kaum modernis dalam pemikiran-pcmikirannya
sering kali terjebak pada proscs pengambil alihan konsep-konsep Barat. Atas dasar ini,
Nurcholish Madjid menganjurkan perlunya menumbuhkan tradisi intelektual yang
autentik dan integral sejalan dengan kaidah klasik al-muhafadhatu ala qadim al-shalih
wal akhdzu bi al-jadidi al-aslah (mengambil nilai-nilai lama yang baik dan
mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik).[84]
Fakultas Ushuluddin - 5 / 13 - 03.08.2010
6
Ide-ide pembaruan Nurcholish Madjid semakin meluas ke berbagai kalangan berkat
organisasi Paramadina yang dibentuknya pada pertengahan 1980-an. Paramadina
sebagai organisasi sosio-pendidikan menjalankan kuliah-kuliah umum dengan jadwal
teratur, membuat jaringan kajian program seminar akhir pekan, dan sejenisnya.
Organisasi itu berhasil menarik perhatian sebagian elite berpengaruh Jakarta dan
mendorong para profesional abangan perkotaan, kalangan pengusaha, pegawai negeri,
dan mahasiswa untuk memiliki kepercayaan agama yang lebih kokoh, lebih mendalami
pengetahuan Islamnya, dan berpandangan progresif rentang peran agama di
masyarakat. Dapat dikatakan, Paramadina adalah lembaga pendidikan keagamaan
yang berfungsi mirip tradisi pesantren atau madrasah akhir abad ke-20.
Paradigma neomodemisme tampak jelas pada misi yang diemban Paramadina. Seperti
dikatakan pendirinya, Nurcholish Madjid, Yayasan Paramadina adalah lembaga
pendidikan yang secara penuh memercayai bahwa nilai-nilai Islam universal dapat
dibuat konkret dalam konteks tradisi lokal serta keislaman dan keindonesiaan yang
jelas-jelas berpadu. Yayasan Paramadina dirancang sebagai pusat keislaman yang
kreatif, konstruktif, dan positif untuk memajukan masyarakat tanpa bersikap defensif
atau bahkan reaksioner. Untuk tujuan ini, kegiatan intinya diarahkan pada
pembangunan kemampuan rnasyarakat dalam menjawab tantangan abad ini dan
memberikan sumbangan bagi tumbuhnya tradisi intelektual. Upaya ini dimaksudkan
untuk menginvestasikan sumber-sumber penting dalam pengembangan mutu dan
kemampuan ilmiah. Sebagai konsekuensinya, program aktivitas intinya adalah
menumbuhkan pemahaman Islam secara luas, benar, penuh semangat keterbukaan,
dan bersama menyebarkan gagasan-gagasan yang menekankan nilai-nilai keadilan,
keterbukaan, dan demokrasi.
Ide-ide neomodernisme ini semakin memperoleh tempatnya dengan dibukanya KKA
(Klub Kajian Agama) yang pertama pada bulan Oktober 1986 dan menerbitkan
hasil-hasil seminar KKA. Pada tahun 1992, Paramadina menerbitkan ontologi Makalah
KKA Nurcholish Madjid dengan diberi judul Islam Doktrin dan Peradaban, yang
disusul dengan penerbitan buku-buku lain.[85]
Pemikiran neomodernisme Nurcholish Madjid secara nyata telah mempengaruhi para
neomodernis muda yang lain dan memberikan inspirasi bagi upaya penyebarluasan
gagasan pembaruan pemikiran. Di Jakarta, Dawam Rahardjo yang memimpin LSAF
(Lembaga Studi Agama dan Filsafat) menerbitkan jurnal Ulumul Qur’an dan Masdar
Farid Masudi menjalankan NGO yang bernama PSM (Perhimpunan Perkembangan
Pesantren dan Masyarakat). Di Yogyakarta kalangan muda neomodernisme yang
berlatar belakang NU berhimpun dalam wadah LKiS. LKiS adalah salah satu
represenrasi angkatan muda NU yang berhasil melakukan gerakan pembaruan
pemikiran Islam dan aksi sosio-kultural baik dalam wilayah internal NU maupun di
luarnya.[86] Wacana agama yang dikembangkan LKiS adalah Islam transformatif dan
toleran. Kegiatan mereka dalam menyebarluaskan pemikiran keislaman yang inklusif
sedikit banyak terinsipirasi oleh pemikiran pembaruan Nurcholish Madjid di samping
tokoh idola mereka, Abdurrahman Wahid.
2. Abdurrahman Wahid
Sebagaimana diuraikan di muka, Abdurrahman Wahid adalah tokoh lain di luar
Fakultas Ushuluddin - 6 / 13 - 03.08.2010
7
Nurcholish Madjid yang berperan penting dalam proses penyebaran gagasan
neomodernisme di Indonesia. Abdurrahman Wahid lahir pada tahun 1940 di Jombang.
Dia pernah menimba ilmu di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta
pada tahun 1953-1957, Pesantren di Tegalrejo (1957-1959) dan Pesantren Krapyak
Yogyakarta(1959-1963).[87]
Dia pernah mengajar di Pesantren Tambak Beras. Selesai menempuh pesantren, Ia
melanjutkan kuliah di Universitas Kairo (1964-966), dan kemudian pindah ke Fakultas
Sastra Universitas Baghdad (1966)
Dia akrab dengan berbagai tulisan, sebagian besar karya-karya fiksi berbahasa
Indonesia, Arab, Inggris, dan Prancis sejak di Pesantren Tambak Betas. Dia membaca
secara kritis karya-karya filsafat, sosial, polirik, dan agama. Dia bercita-cita bisa
menempuh pendidikan formal dan meraih gelar di perguruan tinggi Eropa. Namun
cita-citanya tidak bisa terwujud, karena dia tidak menemukan sebuah lembaga
pendidikan di Eropa yang menghargai minatnya terhadap kajian Timur-Tengah.
Abdurrahman Wahid sejak muda sudah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat
secara luas berkat dukungan keluarga dan kegiatan ayahnya di bidang keagamaan
dan perpolitikan nasional yang cukup menonjol. Sang ayah, KH. Wahid Hasyim
nampaknya mendorong dia untuk bergaul dengan berbagai tokoh, baik dari
lingkungan NU maupun di luar NU termasuk dengan kalangan non-Muslim.
Sepulang dari Timur Tengah pada tahun 1971, Abdurrahman Wahid langsung
melibatkan diri dalam dunia pesantren dan mengendalikan berbagai posisi
dipesantren. Pada tahun 1972-1974, dia diangkat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin
di Universitas Hasyim Asy’ari Jombang, Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng
(1974-1980) dan memimpin Pesantren Ciganjur Selatan (1978). Mulai tahun 1978, dia
melibatkan diri dalam kepemimpinan NU pada level Nasional dengan jabatan Katib
Syuriah (1979). Pada tahun 1983 bersama KH. Achmad Shiddiq, dia tampil dalam
pucuk kepemimpinan NU setelah KH. Idham Chalid menyerahkan kepemimpinannya
pada bulan Mei 1982. Kudeta diam-diam meski berjalan sukses dalam
perkembangannya membuat NU terbelah menjadi dua kelompok. Satu kelompok
sebagai pendukung Idham, yang dikenal dengan kelompok Cipete sedangkan
kelompok yang lain adalah kalangan reformis yang menentang Idham, yang dikenal
dengan kelompok Situbondo. Pada Desember 1984, Abdurrahman Wahid terpilih
sebagai Ketua Tanfidziyah dan KH. Achmad Shiddiq sebagai Rais ‘Am-nya.[88]
Di awal kepemimpinannya di NU, Abdurrahman Wahid mendapat sambutan hangat
dari pemerintah karena dia dianggap sebagai tokoh yang menyuarakan pandangan
moderat dan stabilitas. Akan tetapi dalam perkembangannya dia dianggap sebagai
figur oposisi yang mengganggu dan meresahkan pemerintah. Apalagi serelah
terang-terangan dia bersama Djohan Effendi, 43 intelektual lainnya, dan para tokoh
masyarakat yang lain mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) pada bulan Maret 1995
Fordem dibentuk untuk memperjuangkan pembaruan demokrasi di Indonesia
sekaligus menentang kecenderungan berkembangnya sektarianisme dalam
masyarakat.
Sesuai dengan namanya, Forum Demokrasi dimaksudkan sebagai lembaga think-tank
Fakultas Ushuluddin - 7 / 13 - 03.08.2010
8
yang mempunyai pengaruh dan kelompok lobi yang mendiskusikan ide-ide demokrasi
liberal dan cara-cara merealisasikannya dalam masyarakat Indonesia.
Keanggotaannya menyebar dengan memadukan para tokoh agama dan intelektual dari
berbagai kelompok dan tradisi agama di masyarakat Indonesia.
Abdurrahman Wahid dalam berbagai forum gencar menyampaikan kritik terhadap
gaya otoritarianisme pemerintahan Presiden Soeharto dan memberikan statement
secara terbuka tentang perlunya reformasi kehidupan demokrasi. Sebagai akibatya,
dia benar-benar ditekan secara politis oleh penguasa Orde Baru. Sejak saat itu,
Abdurrahman Wahid tampil sebagai sosok aktivis Muslim yang dianggap sebagai
ancaman bagi rezim penguasa.
Kehadiran Abdurrahman Wahid di NU telah menorehkan berbagai prestasi besar
khususnya di bidang pemikiran. Hal ini tampak ketika perhelatan Munas Situbondo
yang digelar Desember 1983. Pada Munas yang dikenal sebagai permulaan reformasi
di tubuh NU itu, moncul keinginan dan peserta untuk kembali ke Khittah 1926
Keinginan kembali ke semangat para pendiri NU (Khittah 1926) ini secara umum
dipahami untuk tiga tujuan. Pertama, NU ingin meninggalkan partai politik dan
berkonsentrasi sesuai tugas aslinya sebagai organisasi sosial pendidikan. Kedua,
kepemimpinan asli dalam organisasi NU harus dipegang oleh ulama, tidak dipegang
oleh politisi sebagaimana direpresentasilcan oleh Idham. Ketiga, NU ingin kembali
memusatkan diri dalam membantu pengembangan sosial, ekonomi, dan pendidikan
warganya.[89]
Gagasan reformasi NU ini dirumuskan oleh Majelis 24. Majelis ini mulai bekerja pada
tahun 1983 dengan beranggotakan para intelektual dan aktivis muda NU seperti
Abdurralunan Wahid, Masdar Farid Mas’udi, Muchit Muzadil, Fahmi Saefudin, dan
didukung oleh para ulama progresif seperti KH. Achmad Shiddiq, KH. Musthofa Bisri
dan KH. Sahal Mahfud. Dari tim besar ini, kemudian dibentuk Tim tujuh yang
bertugas merumuskan apa yang dimaksud khittah 1926, dengan Abdurrahman Wahid
sebagai salah seorang anggotanya. Akhirnya pada Muktamar Situbondo 1984. NU
menerima khittah l926 sebagai garis perjuangan NU. Dalam Muktamar ini
Abdurrahman Wahid dipilih scbagai Ketua Tanfidziyah dan KH. Achmad Shiddiq
ditetapkan sebagai Rais ‘Am-nya.
Lima tahun berikutnya, ketika Muktamar NU ke-28 digelar di Krapyak Yogyakarra
pada tahun 1989, Abdurrahman Wahid terpiih kembali sebagai Ketua Tanfidziyah,
namun menghadapi penentangan yang signifikan. Beberapa peserta muktamar
mempertanyakan statemen Abdurrahman Wahid tentang penggantian salam
persahabatan umat Islam Assalamu’alaikum dengan selamat pagi. Namun lagi-lagi dia
berhasil menjelaskan persoalan sebenarnya. Menunut Abdurrahman Wahid, kata
selamat dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan kata salam dalam bahasa Arab,
sehingga kata selamat pagi harus dipahami sama artinya orang Indonesia dapat
menenima assalamu ’alaikum.
Secara normarif, kata Abdurrahman Wahid, ucapan salam dalam shalat wajib
hukumnya. Tetapi secara budaya, ucapan salam ini bisa digantikan dengan selamat
pagi dan sebagainya. Pendapat ini dalam pandangan Abdurrahman Wahid analog
dengan ucapan shabahul khair yang artinya tidak berbeda dengan ucapan assaamu
Fakultas Ushuluddin - 8 / 13 - 03.08.2010
9
’alaikum yang sering digunakan di negara-negara Arab. Dengan demikian, ucapan
selamat pagi sebenarnya merupakan bentuk pribumisasi dari assalamu ’alaikum yang
digunakan dalam konteks budaya. Cara seperri ini, ungkap Abdurrahman Wahid, akan
menampung dua kebutuhan. Pertama, kebutuhan adaptasi kukural kepada
adar-istiadat yang selama ini benjalan. Kedua, kebutuhan untuk memelihara ajaran
formal agama.[90]
Sebagian peserta yang hadir dalarn Mukramar NU ke-28 di Krapyak juga
mengemukakan keberatan atas sikap Abdurrahman Wahid yang secara
terang-terangan menentang pemerinrah. Sikap ini dianggap akan menciptakan
disharmoni NU dengan Pemerintah. Semua keberatan itu dijawab secara tuntas o!eh
Abdurrahman Wahid dengan menggunakan argumentasi yang didasarkan pada fiqilt
Sikap kurang non-kompromistis Abdurrahman Wahid dengan penguasa secara nyata
ditunjukkan dengan penolakannya untuk masuk ICMI ketika organisasi ini dibentuk
pada tahun 1990. Menurut Abdurrahman Wahid, ICMI merupakan representasi
organisasi yang mengembangkan sektarianisme. Oleh karena itu, dia menolak masuk
ICMI sebagai konsekuensi pada silcapnya yang menentang bahaya sektarianisme dan
menentang pertumbuhan sektarianisme pada masyarakat Indonesia.
Sikap antisektaranisme Abdurrahman Wahid juga tecermin dengan pembelaannya
terhadapArswendo Atmowiloto (Editor Majalah Kristen Monitor) yang merilis hasil
poling yang meletakkan posisi Nabi Muhammad pada urutan kesebelas di bawah
posisi Presiden Soeharto (urutan pertama) maupun tokoh-tokoh lain.
Hingga akhir 1991 dan awal 1992, Abdurrahman dan NU ditekan secara
terus-mcnerus oleh Pemerintahan Soeharro. Dalam keadaan seperti ini, NU
menyelenggarakan Rapat Akbar yang dihadiri ratusan ribu warganya dengan berjanji
akan terus setia kepada Pancasila. Dengan manuver ini, seolah NU menekan
pemerinrah sehingga tak dapat mengabaikan kekuatan NU. NU sebagai organisasi
rakyat kccil trerbesar, organisasi non-pemerintah, tetap dianggap sebagai kekuatan
signifikan. Dengan cara itu, Abdurrahman Wahid dan NU dapat memainkan peran
penting dalam mengendalikan stabiitas sosial dan kerukunan dalam masyarakat.
Selain itu, Abdurrahman tampil selaku figur penting yang tak diragukan komitmennya
sebagai scorang moderat dan liberal dalam mempertahankan kerukunan sosial dalam
masyarakat Indonesia yang piuralistik.[91]
Dalam membahas sisi intelektualitas Abdurrahman Wahid, rasanya kurang lengkap
jika tidak menyinggung dua gagasan yang diwacanakannya. Pertama, Islam sebagai
faktor komplementer dalam kehidupan sosio kultural dan politik Indonesia. Kedua,
gagasan pribumisasi Islam.
Dimensi pertama dari gagasan Abdurrahman Wahid ini merupakan seruan kepada
rekan-rekannya sesama Muslim untuk tidak menjadikan Islam sebagai ideologi
alrernatif terhadap konstitusi negara-bangsa Indonesia yang sudah ada sekarang.
Dalam pandangannya, sebagai satu komponen penting dari struktur sosial Indonesia,
Islam tidak boleh menempatkan diri dalam posisi yang bersaing vis-a-vis
komponen-komponen lainnya. Akan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai unsur
komplementer dalam fondasi tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Upaya
Fakultas Ushuluddin - 9 / 13 - 03.08.2010
10
menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif arau pemberi warna tunggal hanya
akan membawa perpecahan dalam masyarakat secara keseluruhan mengingat corak
sosial kita yang beragam.
Dimensi kedua dari gagasan Abdurrahman Wahid adalah pribumisasi Islam.
Menurutnya, pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab
pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia)
dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendini.
Pribumisasi Islam bukan berarri meninggalkan norma-norma kcagamaan demi budaya,
namun agar norma-norma ini menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan
mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash a1-Quran.
[92]
Menurur Abdurrahman Wahid, pribumisasi Islam adalah rekonsiliasi antara budaya
dan agama. Rekonsilasi ini menuntut umat Islam memahami wahyu dengan
mempertimbangkan fàktor-fakror kontekstual termasuk kesadaran hukum dan rasa
keadilannya. Maka beberapa argumen yang dikemukakan Abdurrahman Wahid dalam
mempertahankan tawaran pribumisasi Islam. Pertama, alasan historis bahwa
pnibumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam baik di negeri asalnya
maupun di negana lain termasuk Indonesia. Di sini menunjukkan bahwa Islam
rnengalami proses pergulatan dengan kenyataan-kenyaraan historis. Proses ini, kata
Abdurrahman Wahid, tidak mengubah Islam tetapi mengubah manifestasi dari
kehidupan agama Islam. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih
dengan adat. Dalam kaidah fiqih dikenal misalnya al-’adah muhakkamah (adat-istiadat
menjadi hukum). Dalam hal ini kata Abdurrahman Wahid, adat tidak mengubah nash,
melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya.
Temuan-Temuan dan Penutup
Nurcholish Madjid dan Ahdurrahman Wahid adalah intelektual neomodernisme.
Neomodernisme ini jika dilacak asal-asulnya bersumber dari paradigma pemikiran
Fazluiur Rahman. Rahman sendiri memetakkan empat gerakan pembaruan Islam yang
pernah muncul sepanjang dua abad dalam dunia Islam. Pertama, gerakan revivalisme
Islam, yang ditandai dengan gerakanWahabisme dan Sanusisme. Kedua, gerakan
modernisme Islam atau modernisme klasik. Ketiga, gcrakan neo-revivalisme atau
neo-fundamentalisme. Keempat, gerakan neomodernisme. Gerakan terakhir ini
muncul di kalangan intelektual muda yang ingin kembali pada semangat modernisme
awal, namun mencari kombinasinya dengan warisan kekayaan keilmuan Islam klasik.
Neomodernisme muncul sebagai respons terhadap berbagai kelemahan yang melekat
dalam gerakan pembaruan sebelumnya. Menurut Fazlur Rahman, meskipun
modemisme klasik benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan.
Pertama, ia belum menguraikan secara tuntas metodenya yang semi-implisit terfokus
dalam menangani masalah-rnasalah khusus dan belum menguraikan implikasi da
prinsip-prinsinp dasar yang dibangunnya. Mungkin lantaran perannya sebagai
reformis terhadap masyarakat Muslim dan sebagai kontroversialis-apologetik
terhadap Barat telah menjadikannya terhalang untuk melakukan inrerpretasi
sistematis dan menyeluruh terhadap Islam dan menyebabkannya membahas beberapa
Fakultas Ushuluddin - 10 / 13 - 03.08.2010
11
masalah penting di Barat secara ad hoc.
Kedua, masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah-masalah bagi
dunia Barat sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa para modernis klasik telah
terbaratkan dan merupakan agen-agen westernisasi.
Gerakan pembaruan harus selalu berjalan dan metodenya harus selalu diperbarui
dalam rangka mengembangkan pola pemahaman keislaman yang dinamis-responsif
dan menampung dimensi-dimensi perubahan yang dialami umat manusia. Gerakan
pembaruan sejalan dengan prinsip Islam yang sangat mendorong
pandangan-pandangan dinamis.
Gerakan pembaruan pemikiran Islam secara umum ditandai dengan
pemikiran-pemikiran kritis terhadap modernisasi (Barat). Hasilnya berupa tawaran
alternatif-alternatif non-Barat dalam membangun dan rnembangkitkan umat Islam
dari ketertinggalannya. Kebangkitan Islam merupakan isu yang tumbuh dari sikap
kritis para pembaru Muslim dan di dalamnya mencakup gerakan-gerakan intelektual
dan sosial-politik cukup beragam, yang meliputi: neo-tradisionalisme (Sayyed Hossein
Nashr) dengan kecenderungan bersikap reserve terhadap modernisme;
neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme Islam (Al-Maududi, Sayyid Qutb dan
Hassan al-Banna) dengan kecenderungan lebih bersikap reaktif dan anti-Barat serta
neomoderninne (Faziur Rahman) yang menampilkan citra revisionistik terhadap
reformisme modernis.
Neomodernisme di Indonesia seperti tercermin dalam pemikiran Nurcholish Madjid
dan Abdurrahman Wahid memiliki beberapa karakteristik.
Pertama, ia berwatak progresif. Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif
terhadap pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis
dalam memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa optimis tentang
ke arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi jalannya perubahan
sosial yang begitu cepat.
Kedua, neomodernisme seperti halnya fundamentalisme adalah respons rerhadap
modernitas, gangguan globalisasi peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia
Islam. Tidak seperti fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur,
neomodernisme tidak merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau tidak
menekankan identitas diri yang terpisah. Neomodernisme secara cerdas dapat
mendekati keilmuan dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan. Kritik rerhadap bagian tertentu budaya Barat bukan berarti hal itu tak
dapat direkonsialisikan. Neomodernisme ridak hanya membela ide-ide liberal Barat
seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara,
namun menekankan bahwa ide-ide Islam ini memberi warisan umum rerhadap Barat.
Ketiga, pemikiran neomodernisme Indonesia menganjurkan jenis sekularisme khusus
yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Indonesia, sehingga keinginan
sektarianisme keagamaan tetap terpisah dari keinginan negara atau ada keterpisahan
agama dengan negara. Neomodernisme Indonesia berargumentasi bahwa al-Quran
dan Hadits tak berisi blue print tentang negara Islam atau tidak menetapkan bahwa
Fakultas Ushuluddin - 11 / 13 - 03.08.2010
12
negara agama adalah perlu atau mungkin. Atas pemikiran ini, Nurcholish Madjid
pernah melontarkan ide kontroversial sekulariasi dan desakralisme. Sekularisasi
adalah usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah duniawi dan melepaskan
umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.[93]
Keempat, neomodernisme menghadirkan sebuah kererbukaan, inklusivitas, dan
pemahaman liberal Islam yang dapat direrima oleh segala kalangan, pengakuan
pluralisme sosial, penekanan perlunya toleransi, dan hubungan harmonis di kalangan
masyarakar.
Kelima, neomodernisme dimulai dengan semangat kembali pada abad modernisme
(Muhammad Abduh) dengan memerhatikan rasionalitas dalam kegiatan ijtihad
ataupun upaya individual dalam interpretasi nash. Kalangan neomodernisme
mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan
masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk
merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad
ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme menyintesiskan tradisi keilmuan Islam,
tuntutan modernis tentang ijtihad, tuntutan ilmu sosial Barat, dan kemanusiaan.
Mereka bisa melakukan upaya ini karena mereka berlatar belakang tradisionalis
(pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab
dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan demikian, secara simultan
neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar modernisme dan
menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat.[94]
Daftar Pustaka
Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual
Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist
Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hamzah, Imran dan Anam, Chairul (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai.
Surabaya: PT Jawa Pos, 1989.
Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Narwoko, J. Dwi – Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam,
Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Fakultas Ushuluddin - 12 / 13 - 03.08.2010
13
This entry was posted on Friday, July 2nd, 2010 at 5:02 pm and is filed under Artikel
You can follow any responses to this entry through the Comments (RSS) feed. Responses
are currently closed, but you can trackback from your own site.
Fakultas Ushuluddin - 13 / 13 - 03.08.2010

pidi

“The Quran must be re-read and re-interpeted in today`s contex as the classical jurists read and interpreted it in their own context. No reformation possibel without such re-reading and re-interpreting the Quranic verses”
(Ashgar Ali Engineer, 2002).
Memasuki abad ke-20 fenomena modernitas merupakan akselerasi global. Gejala ini membawa dampak multidimensional dalam sendi-sendi kehidupan. Tidak terkecuali tradisi agama-agama. Respon yang mencuat ke permukaan, gejala modernitas dan globalisasi ini dsikapi secara ambivalen oleh kalangan agamawan. Isu demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penegakan HAM, egalitarianisme, perdamaian global, non-violence, emansifasi dan gender serta pemisahan otoritas agama dan kedaulatan negara menjadi bahan utama perdebatan di kalangan pemeluk agama-agama. Ambivalensi ini mengemuka seiring adanya struktur dan pola pandang yang berbeda dalam menyikapi relasi tradisi (teks/nash keagamaan) dan modernitas.1 Satu sisi ada sekelompok agamawan yang tanpa sungkan memetik dan menikmati “buah” modernitas diatas disertai proses kontektualisasi tradisi dalam masa kini, dan disisi lain muncul kelompok agamawan yang menghadirkan tradisi demi masa lalu dalam masa kini disertai resistensi terhadap segala bentuk produk modernitas Barat-sekular. Belakangan ini kelompok pertama banyak diidentifikasi sebagai gerakan modernis/liberal yang terlanjur (direkayasa) dihadapkan dengan kelompok kedua, revivalis/fundamentalis. Yang pasti, Islam tidak bisa luput dari gelombang pergumulan dengan isu-isu kontemporer tersebut.2
Dalam kerangka tantangan modernitas ini, Hasan Hanafi merintis jalan setapak oksidentalisme (al mustaghrab) sebagai counter discourse dan kritik terhadap orientalisme yang dirasa telah menghegemoni budaya dan state of mind umat Islam. Hanafi berupaya agar “the other” (Islam) berada pada posisi psikologis yang sama dengan “ego” (Barat).3
Muhammadiyah dan NU: Gerakan Pemikiran, Quo Vadis?
Pergulatan pemikiran keislaman dalam wacana keindonesiaan sendiri memiliki irama cukup rancak. Ketegangan kreatif (creative tension) ini tidak jarang menimbulkan suhu yang memanas dalam percaturan isu-isu sosial keagamaan. Dikotomi Islam tradisionalis dan Islam modernis seperti yang disinyalir Deliar Noer (1985) merepresentasikan dua kutub pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia pada dekade 1940-an.4 Perkembangan sosio-politik dan wacana kebangsaan di tanah air, khususnya dasawarsa terakhir ini, menyeret konstruksi masyarakat muslim Indonesia diatas kedepan meja pertanggungjawaban sejarah. Karena konstruksi itu sedikit banyak berimbas pada pasang surutnya harmonisasi hubungan kedua paham keagamaan tersebut. NU yang mengidentifikasi diri sebagai cagar tradisi selalu diperhadapkan secara diametral dengan organisasi Islam modernis seperti Persis, al Irsyad dan Muhammadiyah. Namun pada aras sosio-politis nampaknya yang terakhir menjadi pasangan oposisi biner yang tepat bagi NU.5
Namun tarik ulur kedua organisasi diatas tidak banyak melahirkan dampak yang positif bagi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia kedepan. Bahkan pada tingkat tertentu menjadi faktor yang dapt mengikis kekebalan jaring-jaring sosio-kultural masyarakat sehingga menjadi rentan ketika dihadapkan dengan isu-isu politik daan kenegaraan. Kasus penggusuran K. H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kedua organisasi ini dalam menata hubungan kedepan. Refleksi kritis atas peran dan kiprah kedua organisasi Islam tersebut dalam wacana keindonesia memunculkan pandangan-pandangan rekonsiliatif, inklusiv dan akomodatif dalam menyikapi relasi tradisi dan modernitas. Perkembangan menggembirakan ini pada tingkat tertentu mulai memudarkan garis demarkasi Islam tradisionalis dan Islam modernis. Dan nampaknya dominasi isu-isu sosial keagamaan kedua gerakan Islam ini dalam pentas keislaman lndonesia (untuk sementara) tergeser oleh dua mainstream pemikiran keagamaan (baca: Islam) global; yaitu fundamentalisme Islam dan Islam liberal.6 Setidaknya pada tingkat isu-isu Islam kontemporer dalam konteks lokal maupun global.
Fundamentalisme Islam vis a vis Islam Liberal
Gejala modernitas yang menyeret umat manusia dalam dunia impian yang hampa dan penuh disorientasi serta tumbuh suburnya “masyarakat sekular” telah merangsang lahirnya fundamentalisme keagamaan. Bagi Karen Armrstrong, fundamentalisme adalah bentuk kesalehan yang militan yang muncul di semua kepercayaan atau agama besar di abad 20. Fenomena tersebut merepsresentasikan menyebarluasnya penolakan terhadap modernitas sekuler.7 Di seluruh dunia, orang ingin melihat hukum Tuhan terefleksikan dengan jelas dalam pemerintahan atau negara. Mereka khawatir masyarakat yang yang liberal dan sekuler akan menyingkirkan agama dari kehidupan manusia. Sehingga mereka ganti “menyerang’ dan menciptakan budaya tandingan (counter cultur).
Ketidakpuasan sebagian masyarakat Muslim Indonesia terhadap pemerintah dan ormas-ormas Islam formal yang ada dalam menyikapi masalah sosial keagamaan, khususnya masalah keumatan, memunculkan fundamentalisme Islam yang mewujud dalam harakah-harakah alternatif. Seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (Surakarta) dan Majelis Mujahidin Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak gerakan Islam alternatif di Indonensia. Penegakan syariat Islam, solidaritas Muslim Internasional, memerangi segala bentuk pemurtadan dan anti Barat menjadi bagian isu-isu penting dalam perjuangannya.
Di sisi lain berbanding berbalik, muncul gerakan Islam liberal yang tanpa ragu mengambil buah modernitas Barat seperti demokrasi, HAM, egalitarianisme dan emansifasi gender . Gerakan ini meletakan Islam dalam ranah historis yang tidak lepas dari intervensi manusia. Kritik dan kontekstualisasi doktrin-doktrin agama adalah mata tombak dari gerakan ini dalam membedah otentisitas Islam. Islam liberal komitmen terhadap perjuangan Islam yang toleran, ramah, anti kekerasan, demokratis, emansipatoris, humanitarianistik, egaliter dan pluralis. Charles Kurzman memdudukan wacana Islam liberal (liberal Islam) ini dalam akar tradisi intelektual Muslim8. Sehingga Islam liberal bukan saja lahir secara sah dari rahim tradisi intelektual Muslim klasik namun juga berhak hidup dan berkembang bersama tradisi keagamaan Muslim klasik lainnya9. Dalam hal ini fundamentalisme Islam.
Dalam bingkai mutual understanding dan tasammuh adalah urgen untuk memberi ruang publik pendapat (public sphere opinion) terhadap salah satu pihak, dalam kontek ini Islam liberal, untuk membeberkan hujjah-nya sehingga menjadi accountable di hadapan masyarakat banyak.
Islam Liberal, a Contradiction in Terms ?
Istilah liberal pada mulanya dipakai dalam dunia politik. Doktrin politik liberal mengajarkan bahwa kesepakatan demi kebaikan bersama bagi kelompok bersejarah manapun bisa dicapai menggunakan wacana rasional. Liberalitas politik mengasumsikan adanya komunitas yang majemuk, keanggotaan yang tidak permanen dan kepedulian terhadap penetapan kebaikan bersama.10 Haru biru perkembangan sosial mendorong istilah liberal untuk merambah wilayah-wilayah sosial budaya, termasuk agama. Untuk memahami adjective ataupun label liberal dalam wilayah sosial keagamaan harus dipahami dalam ruang waktu dan konteknya tersendiri. Konsekwensinya, ketika kita membicarakan liberalisme pada saat ini menjadi tidak mungkin kita memakai terminologi yang berlaku pada abad ke-19 ataupun dekade 50-an. Kita juga tidak bijak untuk memahami terms tersebut menurut aliran ekonomi ala Smith dan Keynes, ataupun konsep partai liberal bahkan konsep filsafat Sartre. Justru konsep tersebut harus dipahami sebagai suatu yang lahir dari proses perjalanan sejarah yang tumbuh menjadi fenomena dalam dunia pemikiran.11
Bagi Binder, liberalisme dalam konteks Islam (Timur Tengah) identik dengan wacana rasional, keragaman pendapat, toleransi, agama sebagai pemahaman dan meyakini bahwa al Quran tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan maka diperlukan interpretasi berdasarkan kata-kata, namun yang tidak terbatasi oleh kata-kata dan mencari apa yang sesungguhnya hendak diungkapkan atau diwahyukan melalui bahasa.12 Menurut Aliya Harb, liberalisme tidak dapat dilihat sebagai kriteria dalam satu bangunan masyarakat tertentu, satu masyarakat tertentu, atau perkembangan budaya tertentu. Seperti halnya dalam masyarakat modern terdapat model struktur sebagaimana dalam masyarakat tradisional. Yang terpenting dalam liberalisme bukanlah dahsyatnya pencetusan beribu gagasan, melainkan bagaimana gagasan itu diungkapkan dengan tepat serta bagaimana ia diterapkan untuk menghasilkan sesuatu. Inilah perubahan terpenting dalam dunia pemikiran.13
Pada view point inilah penulis menarik hipotesis bahwa substansi liberasi Islam adalah liberalisasi pemikiran yang memadukan secara seimbang dimensi pemikiran dan metodologi. Dengan begitu adjective liberal dalam kata Islam bukan suatu kerancuan karena pertama, secara akademik ekspresi kebebasan memahami serta berpendapatnya ditopang oleh sebuah bangunan metodologi yang mapan. Kedua, secara sosiologis itu menjadi ekspresi natural dari pergulatan Islam dengan modernitas;isu-isu kontemporer. Sehingga liberal Islam bukan semata-mata a contradicton in terms.
Jaringan Transmisi Intelektual Islam Liberal di Indonesia

Senyatanya kita tidak bisa melahirkan sebuah pemikiran dalam ruang hampa yang imune dari segala bentuk kontaminasi dan intervensi kemanusiaan namun justru sebuah pemikiran lahir dibidani oleh intervensi kesejarahan manusia dan dibentuk oleh ragam corak kepentingan sosial kultural komunitas tertentu. Setumpuk ajektivitas Islam mulai Islam tradisional dan Islam modernis, Islam neo-revivalis dan Islam neo-modernis, Islam radikal dan Islam sekuler sampai Islam Fundamentalis dan Islam liberal merupakan rujukan faktual preposisi diatas. Hemat penulis, ajektivitas aliran pemikiran tertentu terbangun oleh dua hal, yaitu karaktristik artikulasi gerakan pemikiran tersebut dan penilaian subjektif dari komunitas masyarakat yang tidak jarang memiliki keterkaitan kepentingan dengan gerakan pemikiran diatas.
Dalam khazanah sejarah pemikiran Islam, liberasi Islam bukanlah anak haram ataupun lahir prematur dari rahim wacana pergulatan pemikiran keislaman dalam realitas kesejarahan. Sebaliknya, liberasi Islam tumbuh kembang dalam tempaan historitas yang establish. Secara historis afinitas the moral values and spirit resources14 gerakan ini dapat kita temukan benih dan akarnya dalam tradisi jurisprudensi hukum Islam.15 Penulis tidak bermaksud memaparkan sejarah dan jaringan intelektual (isnad) Islam liberal secara deskriptif, dari Timur Tengah hingga nusantara16. Namun penulis akan menekankan asfek heritage of the moral values and spirit resources dalam tradisi liberasi Islam ini.
Geneologi gerakan liberasi Islam ini dapat dilacak pada gerakan pembaharuan Islam. Mulai Rifa`ah at Tahtawi, M. Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd. Raziq, sampai Hasan Hanafi, M. Arkoun dan Fazlur Rahman adalah avent gard gerakan pembaharuan/liberasi Islam ini. Rahman dalam Islam: Past Influence and Present Challenge memetakan sejarah pembaharuan Islam dalam rentang dua abad mutaakhir dalam empat klasifikasi. Pertama, gerakan revivalis diakhir abad ke-18 dan awal abd ke-19 dalam representasi gerakan Sanusiyah di Afrika utara. Kedua, gerakan modernis. Di Timur Tengah gerakan ini dimotori Jalaludin Al Afghani dan M. Abduh, dan di India di motori Ahmad Khan. Ketiga, neo-revivalis, gerakan relatif modern ini diimami Maududi dengan Jama`ah Islam-nya di Pakistan. Keempat, neo-modernisme dimana Rahman dikelompokan kedalamnya. Gerakan ini membangun sintesa progresifitas modernitas dengan tradisi melalui ijtihad.
Spirit dan moral ijtihad aktivitas pembaharuan pemikiran Islam di tanah air yang mulai berdenyut pada dekade 70-an menyiratkan adanya relasi ideologis-historis dengan gerakan neo-modernisme Islam. Bahkan secara personal relasi geneologi intelektual ini diwakili oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi`i Ma`arif dan Amien Rais. Karena ketiga pemuka intelektuktal ini pernah merasakan bimbingan langsung Rahman di Chicago University. Pendekatan khas gerakan ini memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Substansi gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia merupakan gerakan intelektual yang progresif dan pluralistik. Dengan menggunakan paradigma Fazlur Rahman, gerakan ini mempriortaskan perhatian pada pembentukan metodologi yang univesal dan permanen terhadap tafsir al Quran; tafsir rasional yang peka terhadap kontek historitas dan budaya.17
Adalah bukan suatu keraguan lagi, gerakan pemikiran ini pada akhirnya menginspirasi munculnya gerakan Islam liberal secara kolektif.18 Sehingga Islam liberal di Indoensia dewasa ini merupakan metaformosa atau transformasi dari gerakan neo-modernisme Islam. Seperti sudah dikemukakan diatas, liberalisasi harus ditopang oleh metodologi yang mapan. Tanpa itu liberalisasi pemikiran akan dianggap sebagai racauan di siang bolong. Dalam perspektif filsafat ilmu, metodologi ataupun kerangka teoritik merupakan unsur terpenting dalam wilayah kerja keilmuan/ijtihad karena basis rasionalitas keilmuan terletak di situ. Gejala sosial kontemporer yang makin sulit diterka dan pesatnya perkembangan.social saences dan social humanities memaksa dirasah islamiyah / islamic studies untuk mengkaji ulang bangunan epistemologi keilmuannya sekaligus membangun metodologi pemikiran Islam yang integrated19. Pada tahap inilah kalangan intelektual Islam harus melakukan refleksi-kritis terhadap bangunan metodologi yang ada. Kreativitas dan kreasi para pemikir Islam kontemporer, seperti Arkoun yang menyajikan Kritik Nalar Islam, Al Jabiri yang meretas kebangkitan Islam Arab melalui Kritik Nalar Arab, Rahman dan Farid Esack yang menawarkan hermeneutika Al Quran dan Amin Abdullah yang meramu At Ta`wiil Al Ilmi sebagai paradigma baru merupakan aktualisasi jihad intelektual untuk membangun metodologi pemikiran Islam yang acceptable, compatible dan integrated.20
Islam Liberal, Ditengah Badai Kritik
Beberapa media massa melansir secara besar-besaran bahkan secara intens sebuah komunitas Islam yang mengusung wacana liberasi Islam. Mereka di tuding berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Kampanye kelompok ini baik melalui media cetak maupun elektronik (internet) yang pada isu-isu tertentu berseberangan dengan kelompok Islam tertentu cukup membuat gerah. Akibatnya, intelektual-intelektual yang mengusung wacana liberasi Islam menjadi sasaran tembak berbagai kritik pedas dari kelompok terakhir ini. Mereka divonis sebagai dari agen-agen imperialis-zionis yang menusuk jantung umat Islam dan berkonspirasi untuk meruntuhkn aqidah Islam.
Pergumulan kedua mainstream wacana Islam diatas dalam ruang keberagamaan (baca: fastabiqul khairat/excel each other in good deeds) adalah suatu yang sah. Bahkan ini bisa menjadi modalitas sosial dalam membangun masyarakat otonom. Ini terkait dengan perbedaan mendasar dari kedua mainstream ini. Keduanya bertemu pada keyakinan akan otentisitas dan sakralitas makna pewahyuan. Faktor manusiawilah, dalam hal ini pemahaman dan interpretasi serta kondisi sosial-politik-ekonomi yang beragam, yang memaksa mereka mengambil jalan dan sikap yang berbeda. Bijak penulis disamping sense of mutual understanding dan rasa tasammuh yang harus ditanamkan dalam benak kita semua, tidak kalah penting adanya pengakuan terhadap prinsip agree in disagreement (meminjam bahasa Mukti Ali). Anak-anak sungai yang berasal dari pancaran mata air kaki gunung pun akan sampai jua bermuara di laut

pdiiu

Bias Liberalisme dalam Studi Pemikiran Gus Dur : Studi Kritis Neo-modernisme Greg Barton*
Jumat, 24 Juli 2009 12:31:25
Oleh Syaiful Arif

”Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa liberalisme Islam justru ditentang di lingkungan NU sendiri? Jawabnya terletak dalam kenyataan, bahwa dilingkungan NU, pembaruan pada umumnya terjadi tanpa menggunakan label apapun. Sewaktu KH. A. Wahid Hasyim kembali dari Mekkah pada tahun 1931, ia langsung mengadakan perombakan pada kurikulum madrasah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berhasil, karena justru perombakan itu dilakukan tanpa nama apapun. Seolah-olah tidak ada perubahan apapun. Dengan demikian, ia menjaga perasaan orang yang masih mengikuti cara berpikir lama.”  (Gus Dur, 2005)
Rangkaian kalimat di atas adalah kalimat penutup yang disampaikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam acara peluncuran buku Menjadi Muslim Liberal karya Ulil Abshar Abdalla di Paramadina, 29 November 2005. Tentu, sekilas orang pasti terjebak dalam stereo type, bahwa ketika Gus Dur memberikan tanggapan atas pemikiran tertentu, maka secara otomatis, ia merupakan bagian dari pemikiran atau ideologi tersebut. Kebanyakan orang terjebak pada partikularisme pemikiran dan langkah politik Gus Dur, tanpa memiliki kemampuan melihat secara komprehensif, berdasarkan latar belakang kultural (cultural paradigm), atau bahkan epistemologi, sehingga dengan gegabah, pemikiran dan aksi Gus Dur dimasukkan dalam ideologi tertentu, semisal liberalisme, atau dalam kasus ini, neo-modernisme yang telah ”dicetak” oleh Greg Barton.
Memang, studi tentang pemikiran Gus Dur merupakan pintu gerbang bagi ”arus balik” penelitian Islam, khususnya Islam yang sering dikategorikan sebagai tradisionalis, dari paradigma modern mindedness (pengagungan terhadap modernitas) kepada mindset riset yang lebih ”menghormati tradisi”. Sejak awal 1950 hingga dekade 1970-an, penelitian terhadap Islam Indonesia mengalami bias modernisasi. Ada dua agen di sana. Pertama, Muslim modernis yang memang sejak dekade 1930-an telah berseteru dengan Muslim tradisional, sehingga lahirlah NU yang meskipun bukan reaksi atas puritanisme, namun telah lama menyimpan pergulatan panjang dengan komunitas Muslim pengikut Syekh Abduh, semisal SI, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persis. Puncak seteru tersebut terjadi ketika NU keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai sendiri pada 1952. Dari sinilah, kajian tentang (politik) NU berjalin kelindan dengan sinisme Masyumi, karena NU dianggap mengkhianati perjuangan Islam melalui koalisi dengan pihak nasionalis. Beberapa Indonesianis semisal Lance Cantles, Ernst Utrecht, Daniel S. Lev, Justun M. Van der Kroef, Arnold C. Brackman, Allan A. Samson, dan tesis seorang Muhammadiyah, Mochtar Naim, melihat keseluruhan dari politik NU era Soekarno, sebagai ”yang luar biasa oportunisnya, yang selalu memihak penguasa!”
Agen kedua adalah para peneliti Barat, yang mempunyai kepentingan mendedahkan modernisasi di Dunia Ketiga. Mereka menganggap bahwa kunci modernisasi adalah penerapan pola-pola kapitalisme Barat dalam pembangunan. Oleh karenanya, perlu dilakukan identifikasi dan penetapan agen-agen pelaku modernisasi di kalangan masyarakat Dunia Ketiga yang memiliki ketrampilan dan sikap yang diperlukan demi proses pembangunan. Sikap ini terutama terdapat dalam komitmen pemecahan masalah secara rasional, manajemen administratif, serta orientasi ekonomis, berlandaskan spirit kerja yang tinggi. Pada titik inilah, NU dengan segenap tradisi Islamnya dianggap ”lain” dari berbagai prasyarat kapitalisme tersebut. Kultur agama yang sikretik, dianggap melanggengkan irrasionalitas. Kepemimpinan kharisma berlandaskan ketundukan penuh, dilihat sebagai feodalisme yang anti demokrasi dan pengaturan manajemen rasional. Etos asketisnya, diklaim sebagai sikap anti etos kerja duniawi, karena hanya berorientasi pada kekayaan ukhrawi. Dari sinilah, NU menjelma ”sisa-sisa” (remnants) masa lalu yang tidak patut untuk dikaji, atau bahkan harus diubah, agar sesuai dengan spirit kapitalisme.
Model riset seperti ini kemudian berubah sejak pertengahan dekade 1970-an hingga awal 1990. Salah satu penyebabnya adalah usaha Gus Dur dalam memperkenalkan ”Islam tradisi” kepada kancah intelektualisme nasional. Esai-esai Gus Dur tentang pesantren, semisal artikel pertama yang dimuat koran (Kompas): Pesantren dalam Kesusastraan Indonesia (26 November 1973) tak diragukan lagi merupakan pengenalan ilmiah atas tradisi pesantren yang selama itu tidak diketahui, sehingga dianggap sebagai kultur primitif dan anti modernitas.  Selanjutnya adalah Khittah 26. Kepemimpinan NU era Gus Dur kemudian memaksa para Indonesianis untuk merevisi tesis oportunisme politik NU, karena ormas sarungan ini tiba-tiba saja menjadi incaran media massa, disebabkan sikap oposisionalnya terhadap negara, satu hal yang berbeda dengan Muslim modernis yang malah ”dilembagakan” oleh pemerintah dalam ICMI, guna melegitimasi kekuasaan. NU era Orde Baru kemudian dijelmakan sebagai ”tradisionalisme radikal”,  karena berulang kali melakukan penolakan massal atas kooptasi Soeharto.        
Dari sinilah riset Greg Barton, seorang pengajar senior Studi Perbandingan Seni, Sains dan Agama pada Deakin University, di Geelong, Victoria, Australia, menemu ruang. Risetnya terfokus dalam pencarian genre pemikiran Islam: neo-modernisme, yang ia temukan dalam pemikiran Gus Dur, Cak Nur, Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. Hasil riset tersebut kemudian dibukukan dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Paramadina, 1999). Meskipun masih kontroversial, karena tidak ada pertanggungjawaban ilmiah atas imbuhan judul gagasan Islam liberal, namun buku Greg telah lama menjadi rujukan utama dalam menemukan legitimasi bagi akar-akar liberalisme Islam di Indonesia. Legitimasi tersebut, secara taken for granted kemudian diterima oleh banyak kalangan, untuk mengamini bahwa Gus Dur merupakan salah satu founding fathers gerakan liberal Islam. Jika Cak Nur adalah penggerak liberalisme diranah kota, maka Gus Dur merupakan Bapak liberalisme pada area pesantren, NU, dan Islam tradisional. Demikianlah keyakinan (atau setidaknya klaim) sebagian pihak. 
Tulisan ini ditujukan untuk mengklarifikasi klaim tersebut, dengan melakukan kritik wacana atas hasil riset Greg Barton, sembari melakukan penggalian pemikiran Gus Dur ”yang lain”, guna menemukan riset intelektualisme yang seimbang, dan lepas dari bias ideologi tertentu. Hal ini berangkat dari satu postulat Orientalisme, di mana riset ”orang luar”, bagaimanapun detail dan netralnya, harus dikritisi, sebab selain perbedaan paradigma dan kesejarahan, peneliti luar tentu tidak bisa mengalami ”struktur maknawi” seorang pemikir Muslim pribumi, semisal ketidakmampuan para Indonesianis NU dalam memasuki logika ushul fiqh dan tasawuf, sehingga pergulatan NU hanya dilihat dari ”optik” political science. Permasalahan juga muncul dari genre neo-modernisme sendiri. Sebagai tipologi pemikiran, neo-modernisme ternyata mengalami bias modernisasi. Hal ini disebabkan belum tuntasnya kerja Fazlurrahman dalam menciptakan aplikasi metodologis, pembaruan pemikiran Islam, pada ranah sosio-politik, sehingga sebagian pihak masih melihat keterjebakan para penggerak neo-modernisme dalam konstruk paradigma dan teori modernisasi.  Keterjebakan ini terlihat dari tatapan sinis dalam memandang tradisionalisme Islam di Indonesia, karena telah menjadi fakta sejarah, bahwa gerakan pembaruan pemikiran Islam ternyata memberikan keuntungan dan legitimasi religius bagi proyek modernisasi politik Soeharto. Kalau begitu, bagaimana dengan Gus Dur yang saat itu melakukan oposisi dengan negara?
Dalam hal ini, fokus covering pemikiran Gus Dur yang dilakukan Greg adalah tulisan-tulisan Gus Dur sejak awal 1970 hingga awal dekade 1980-an, yang terakumulasi dalam dua buku. Pertama, esai-esai pesantren dari 1973 hingga akhir 1977 yang kemudian dibukukan dalam Bunga Rampai Pesantren (1978). Dalam karya ini, Gus Dur menjelma ”jendela pemikiran santri” yang memperkenalkan keunggulan serta kelemahan sistem pesantren sebagai representasi dari Islam tradisional. Dari sinilah Greg kemudian memberikan dua tipologi pemikiran Gus Dur, yakni kekuatan Islam tradisional dan sistem pesantren, serta kelemahan Islam tradisional di Indonesia. Buku kedua, Muslim di Tengah Pergumulan (1981) yang oleh Greg dimaknai sebagai responsi Gus Dur atas berbagai tantangan modernitas. Dalam hal ini Greg kemudian memasukkan terma modernisasi di dalam konsep Gus Dur tentang ”dinamisasi”, serta mengimbuhi orientasi kemanusiaan Gus Dur dengan labeling pluralisme dan humanitarianisme liberal.  
Kita patut memberi apresiasi kepada covering Greg atas pemikiran Gus Dur, yang kemudian dimasukkan dalam gerbong neo-modernisme Islam, bersama dengan Cak Nur, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. Bagi Greg, covering pemikiran tersebut merupakan apresiasinya terhadap kemunculan genre baru kebangkitan Islam (Islamic revivalism) yang mungkin membuat kalangan peneliti Barat berbinar-binar, karena Islam Indonesia telah mampu beradaptasi dan bahkan mungkin menjadi agen modernitas. Neo-modernisme adalah tipologi ciptaan Fazlur Rahman, yang konon menjadi penyempurna dari ketiga kebangkitan Islam; revivalisme, modernisme, dan neo-revivalisme, yang terbukti terjebak dalam apologetisme tradisi, serta pengagungan Barat yang berlebihan, sehingga menghancurkan tradisi Islam. Greg menemukan neo-modernisme dalam pemikiran Gus Dur, karena pemimpin Muslim tradisional ini, mampu menunjukkan modernitas sebagai nilai inheren Islam. Dengan demikian Islam tidak bertentangan dengan modernisme, karena dalam dirinya sudah mengandung kekuatan kemajuan, layaknya ditemukan Cak Nur dalam Piagam Madinah, mengutip ”kebahagiaan” Robert N Bellah, karena sejak awal, umat Islam ternyata menerapkan sistem politik modern yang identik dengan demokrasi.

Minim metodologi
Sejak awal, Greg telah menggambarkan sulitnya menyatukan berbagai pemikiran Gus Dur yang tersebar dalam ”lemparan-lemparan” artikel, ke dalam sebuah sistem pengetahuan. Hal tersebut ditandaskannya melalui kutipan kata pengantar Gus Dur terhadap dua bukunya. Gus Dur sendiri konon ”meragukan” apakah lemparan pemikirannya, yang diperuntukkan kepada khalayak umum, melalui koran, majalah (Tempo), seminar, dan jurnal (Prisma) mampu ditemukan dalam rangkaian sistematika epistemologis. Berangkat dari fakta ini, Greg kemudian memilih ”metodologi” membiarkan tulisan Gus Dur berbicara apa adanya, melalui tekanan pemilihan terhadap pemikiran yang istimewa.
Minimnya metodologi sebagai pertanggungjawaban Greg, atas tipologisasi neo-modernisme dan bahkan Islam liberal pada pemikiran Gus Dur memang sangat disayangkan. Sebab bagaimanapun, netralitas yang ingin diperlihatkan Greg melalui metode membiarkan tulisan Gus Dur ”bicara sendiri”, tentu kontradiktif dengan pemilihan Greg terhadap ide-ide Gus Dur ”yang istimewa”, karena definisi ”yang istimewa” tersebut pasti berangkat dari satu subjektifisme peneliti, yang sayangnya kurang argumentatif dari sisi epistemologi. Konsekuensinya, terjadilah bias modern atau bahkan liberal mindedness dalam penelitian Greg, sehingga covering pemikiran Gus Dur tidak komprehensif, comot sana comot sini, tanpa terciptanya satu bangunan pemikiran yang sesuai dengan ”struktur maknawi” pemikiran seorang Gus Dur. Hal tersebut bisa kita dapatkan dalam beberapa hal.
Pertama, liberal mindedness. Perspektif sarwa liberal membuat analisa Greg terkesan bersifat apologetis, yakni memaksakan konsepsi Gus Dur kedalam ideologi modernisme dan liberalisme. Dalam artikel, Liberalisme: Dasar-dasar Progresifitas Pemikiran Abdurrahman Wahid, Greg menemukan modernisme dalam konsep Gus Dur tentang “dinamisasi”. Berangkat dari kesadaran, bahwa sebagai neo-modernis, Gus Dur jarang mencuatkan diskursus ijtihad, satu kata kunci bagi para peneliti Barat tentang neo-modernisme Islam, Greg kemudian menemukan spirit ijtihad yang secara implisit terdapat dalam ”dinamisasi”. Oleh Greg, ”dinamisasi” tidak hanya dimaknai sebagai sikap energik dan totalitas hidup, melainkan juga kemampuan beradaptasi dan merespons secara kreatif lingkungan yang sulit. Respon kreatif ini Greg temukan dalam penggalian Gus Dur atas adaptasi pesantren dan hukum Islam terhadap modernisasi (pembangunanisme). 
Perspektif modernis ini tentu membawa konsekuensi “perebutan makna” dari apa yang sebenarnya dimaksudkan Gus Dur. Hal ini bisa kita lihat dari deskripsi Gus Dur atas konsep “dinamisasi”, yang secara eksplisit dinyatakan sebagai berikut : ”Dinamisasi, pada asasnya mencakup dua proses, yaitu penggalakkan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, di samping mencakup pula penggantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses pergantian nilai itu dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini, bahwa pengertian modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi. Sedangkan kata dinamisasi itu sendiri, dalam penggunaannya di sini akan memiliki konotasi/mafhum ”perubahan ke arah penyempurnaan keadaan”, dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada sebagai dasar. Dikemukakan prinsip di sini, karena ada keyakinan, konsep-konsep yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita percaya, pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka panjang akan memberikan hasil yang lebih baik dari konsep manapun.
Dari teks ini, jelas kita dapatkan pembelokan makna oleh Greg, sebab secara eksplisit Gus Dur telah menyatakan bahwa modernisasi (penggantian nilai lama oleh nilai baru) secara inheren merupakan satu langkah dalam dinamisasi, setelah langkah pertama yakni penggalakan nilai lama dilakukan. Artinya, proses modernisasi Gus Dur berbeda dengan konsep modernisasi Greg. Modernisasi Gus Dur merujuk pada proses al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dalam konsep ini, Gus Dur dan segenap Muslim NU tetap mengacu pada penggunaan tradisi sebagai basis bagi pembaruan, sehingga tidak terjadi diskontinuitas kesejarahan. 
Sementara itu, modernisasi Greg lebih merujuk pada ideologi modernisasi politik yang memiliki dua kata kunci : rasionalisasi dan sekularisasi. Hal ini bisa kita lihat dari pengutipan Greg atas alinea tulisan Gus Dur yang ”serba kelemahan tradisi”, semisal kritik konstruktif Gus Dur atas sikap ”tenggelam dalam masa lalu” kalangan pesantren sebagai respon reaktif atas modernitas, serta sikap pseudo-modernism yang dilakukan kalangan pesantren dengan hanya melaksanakan ”adaptasi wajah kultural” dari modernitas semisal kegiatan ”penguasaan mikrophone”. Greg juga meletakkan kritik terhadap kepemimpinan kharisma kyai, sebagai penghambat perencanaan rasional atas program jangka panjang pesantren. Modernisasi Greg juga mengacu pada sekularisasi, dengan memberikan titik tekan pada ”penduniawian” hukum Islam, sebagai prasyarat agar fiqh tidak terjebak dalam dogmatisme statis yang terpinggirkan oleh kemajuan zaman. Hanya memang, sebagai konsekuensi dari neo-modernisme, Greg akhirnya menyadari bahwa ”dinamisasi” Gus Dur bukan berangkat dari tekanan modernitas, melainkan lahir dari keyakinan bahwa Islam bukanlah agama statis, sehingga dinamisasi lebih sebagai ekspresi Islam dalam bentuk terbaiknya, yang tradisional, fleksibel, dan adaptif. 
Perspektif liberal mindedness juga terbaca dalam tipologi humanitarianisme liberal. Oleh Greg, istilah humanitarisnisme mengacu pada concern Gus Dur terhadap kebaikan dalam perspektif kemanusiaan yang dipadukan dengan perhatian terhadap kesejahteraan individu. Dalam hal ini Greg menyatakan:

Tidak mengejutkan, hal yang sama (kecintaan terhadap pesantren dan respons terhadap modernitas) ditemukan disejumlah kolom Abdurrahman sejak tahun 1970-an. Kalaupun ada karakteristik yang berbeda, hal ini terletak pada perspektif humanitarisnisme fundamentalnya, yakni perhatiannya terhadap harmoni sosial, toleransi, hak-hak dan kepentingan orang lain. Humanitarisnisme ini lahir berdasarkan pemahamannya terhadap Islam. Seluruh karya pada 1970-an terutama di kolom-kolom Tempo belakangan, memperlihatkan dengan jelas bahwa Abdurrahman meyakini ekspresi sejati Islam, hanya bisa dihasilkan jika semangat hukum, hakikat didudukkan sebagai kepentingan utama. Bahkan jikapun hal tersebut harus mengorbankan penafsiran konvensional terhadap ayat hukum…

Bukti lebih lanjut dari pluralisme maupun keyakinan humanitarisnismenya, bisa dilihat pada keinginan besar untuk melakukan pembaharuan demokrasi, kebebasan berpendapat dan nilai-nilai liberal secara umum…

Penjelasan Abdurrahman mengenai motif atau minimal tujuan-tujuan utama humanitarisnisme liberal memang sering diulang-ulang, kendati sangat sederhana. Abdurrahman, pertama-tama dan utama adalah seorang pemikir keagamaan: Islam, yang memberikan tempat yang besar bagi pemikirannya, adalah liberal secara fundamental.

Dari sini terlihat jelas keterjebakan Greg tersebut, yakni ketika ia memasukkan concern kemanusiaan Gus Dur kedalam terma dan isme semisal humanisme liberal, meskipun untuk kesekian kali Greg harus membuat pembedaan, ketika humanisme Gus Dur tidak berangkat dari sekularisme, melainkan dari kedalaman teologis, sehingga kemanusiaan tidak secara otomatis melakukan dekonstruksi atas bangunan transendensi ketuhanan.
Hanya saja, penggunaan ”optik” luar kepada pemikiran seorang Muslim (pribumi) memberikan ekses negatif berupa Orientalisme. Gus Dur adalah ”Gus Dur yang di liberalkan Greg!”. Pada titik inilah, Greg kurang mampu melihat pemikiran Gus Dur tentang liberalisme dan humanisme. Hal ini menjadi mainstream budaya penelitian oleh peneliti Barat, yang tidak mampu melihat proses indigenisasi keilmuan oleh para pemikir Dunia Islam, yang sebenarnya telah melakukan penyaringan atas berbagai pemikiran dan kebudayaan ”luar” untuk dipribumisasikan ke dalam tradisi pribumi. Dalam artikel panjang Pribumisasi Islam, Gus Dur menandaskan bahwa, meskipun nilai-nilai keadilan, persamaan, dan demokrasi sebenarnya bukan hanya milik Islam, tetapi juga milik kemanusiaan (humanisme universal), namun wawasan, lingkup, watak, sasaran, dan tujuannya tetap berbeda. Perbedaan tersebut dapat dikenali manakala rincian dari nilai-nilai dasar itu diungkap kembali dari perbendaharaan keilmuan Islam yang sangat kaya.  
Dari paparan ini kita akan mafhum bahwa kemanusiaan yang digerakkan Gus Dur tidak harus dirujukkan pada nilai, isme, atau malah ideologi tertentu. Sebab lebih dari sekadar penyaringan budaya, Gus Dur sebenarnya telah melakukan penggalian otentisitas Islam, bukan sebatas kehendak glorifikasi masa lalu (layaknya kaum salafi), melainkan nilai-nilai khas, yang berangkat dari sejarah, kultur, dan orientasi spiritualitas Islam yang tentunya berbeda dengan Barat.  Akan berbahaya jika satu pemikiran dan pergerakan keagamaan dilihat ”secara paksa” dari satu perspektif ideologi tertentu, sebab ia akan membelokkan orientasi Islam kedalam pergerakan politik, demikian juga kegagalan akan menimpa tujuan politik tersebut, disebabkan oleh orientasi agama, yang jelas berbeda dengan ideologi politik. Hal ini yang menyebabkan ketidaksetujuan Gus Dur terhadap ”penyatuan” Islam dan marxisme, karena sebagai gerakan ideologis, marxisme akan menyeret Islam kedalam represifitas politik, sehingga agama kehilangan peran otentiknya.  Demikian juga ketika Islam kemudian dimasukkan dalam terminologi liberalisme, yang tentunya bersifat kontradiktif, karena liberalisme berorientasi pada kapitalisme, sementara menurut Gus Dur, seorang Muslim sejati dengan sendirinya bersifat anti-kapitalisme, karena zakat memberikan pertanda larangan Islam terhadap penumpukan pemilikan pribadi.

Memilih kelemahan tradisi
Pembelokan makna kedua, yang dilakukan Greg adalah dengan (hanya) memilih ”sisi gelap” tradisi Islam yang ditulis oleh Gus Dur. Hal ini membawa dampak negatif menyimpangnya latar belakang dan orientasi pemikiran, plus ketiadaan komprehensitas pemikiran Gus Dur, karena Greg hanya mengutip hal-hal yang sesuai dengan kepentingan modernisme dan liberalisme.
Langkah tersebut misalnya dengan hanya memilih poin-poin artikel Gus Dur tentang pesantren, yang bersifat manajerial semisal pesantren dan kurikulum, modernisasi pesantren, pengembangan kepemimpinan kyai, dst dengan meninggalkan artikel Gus Dur yang bersifat galian kebudayaan, semisal kesinambungan sejarah pesantren dengan Islam Nusantara, tradisi perlawanan kyai terhadap kolonialisme, atau exploring Gus Dur terhadap perwujudan kultural Islam a la pesantren, yang merupakan kesantuan fiqh-sufistik. Pemilihan artikel majanerial dan hubungan pesantren-modernitas memang membawa titik lemah pesantren, sebab sebagai institusi tradisional, manajemen pesantren berbeda dengan manajemen administrasi modern. Sementara itu, kekuatan pesantren yang terdapat dalam galian kebudayaan Islam yang dilakukan Gus Dur tidak di cover secara mendalam oleh Greg, sehingga covering Greg terlihat berat sebelah. 
Hal ini bisa kita lihat dalam pemotretan Greg terhadap pemikiran Gus Dur tentang subkultur pesantren. Seharusnya, pengkajian pesantren sebagai subkultur bisa membawa Greg kepada pemahaman mendalam akan keunikan dan kedalaman kebudayaan pesantren dan Islam tradisi, sebab di sini Gus Dur sangat ilmiah, detail, dan komprehensif dalam menggali dan menyusun sistem kebudayaan pesantren. Gus Dur pada titik tertentu menggunakan metode ”deskripsi mendalam” (tick description) a la Clifford Geertz, dengan menjadikan dirinya sebagai objek dan subjek penelitian yang menafsirkan penafsiran (interpretation of interpretation) Muslim terhadap sistem makna (system of meaning) dalam simbol-simbol keagamaannya. Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur secara kritis menggunakan konsepsi Geertz tentang cara kehidupan santri dalam melihat uniqueness pola keseharian santri,  cultural brokers guna melihat peran kebudayaan kyai,  agricultural involution guna membaca mekanisme ”pembagian kemiskinan” petani di mana para kyai terlibat dalam pendampingan kultural,  serta konsep Geertz tentang aspek transformatif dalam agama, sebagai kritik atas pendekatan fungsionalisme antropologi Mallinowski-an.  Dari penggunaan Gus Dur terhadap Geertz saja bisa kita lihat bahwa seharusnya pengkajian pesantren harus lebih empiris dan mendalam, karena metodologi antropologi Geertz bersifat hermeneutis, yakni mencoba menggali penafsiran objek penelitian terhadap makna dari kebudayaannya. Di sinilah seharusnya Greg mampu masuk pada ”sistem maknawi” Gus Dur dalam menjelaskan makna kebudayaan pesantren, sehingga kajian pesantren tidak bersifat dangkal dan modern mindedness, layaknya pemaksaan Weber atas rasionalisasi dan asketisme duniawi a la Calvinis terhadap tradisi Islam, sehingga Islam dianggap terbelakang dan tidak kondusif bagi spirit kemajuan.  
Sampai di sini, penulis akan mengurai tekstualisme Greg atas pemikiran subkultur pesantren Gus Dur, dengan harapan terjadinya penempatan kembali kajian pesantren a la Gus Dur secara proporsional. Kajian Greg terhadap Pesantren sebagai Subkultur ditempatkan sebagai subtema dalam tipologi Kekuatan Islam Tradisional dan Sistem Pesantren. Secara analitis, Greg menyatakan:

Ditulis tahun 1974 sebagai bab utama untuk buku tentang pesantren dan perubahan, artikel “Pesantren sebagai Sub-Kultur” merepresentasikan sebuah karya akademik dan tajam dalam memilah unsur-unsur berbeda dalam pesantren, di mana unsur tersebut secara tentatif dikemukakan Abdurrahman sebagai dasar keseluruhan sub-kultur. Dan yang membuat artikel ini menarik, sedikitnya bagi studi ini, terletak pada cara Abdurrahman menengahi dua dunia yakni dunia pesantren dan dunia modern atau masyarakat perkotaan sekular...

Akan tetapi bukti-bukti kecintaan Abdurrahman kepada pesantren tidak terlampau menonjol, karena yang menonjol adalah ketika ia mampu mengartikulasikan pandangan kehidupan dunia pesantren dari sudut pandang orang luar…

Kemampuan untuk menengahi dunia sekular dan sakral tampak selalu hadir dalam tulisan Abdurrahman, sehingga hal itu merupakan salah satu sebutan yang meneguhkan klaim Abdurrahman sendiri sebagai pluralis”.

Sejak dari sini, Greg sudah berbuat tidak adil. Kalimat ”Akan tetapi bukti-bukti kecintaan Abdurrahman kepada pesantren tidak terlampau menonjol..”  sangat tidak empiris, sebab artikel Pesantren sebagai Subkultur adalah penggalian Gus Dur paling komprehensif atas kekuatan pesantren sebagai kekuatan budaya Muslim Nusantara, yang menunjukkan pengetahuan dan kecintaan mendalam Gus Dur terhadap kebudayaan pesantren. Sejak awal, Greg tidak mampu meng-eksplore konsepsionalisasi Gus Dur tentang subkultur pesantren yang sangat mempesona. Padahal, secara mendalam Gus Dur telah menggali tiga bentuk karakter pesantren sebagai subkultur. Pada titik ini, posisi subkultur ditemukan Gus Dur atas posisi pesantren yang memiliki subkultur tersendiri, sehingga mampu independen dari kultur masyarakat, namun independensi kultural tersebut sekaligus mampu menciptakan transformasi masyarakat. Dengan kata lain, subkultur adalah sebuah posisi di mana pesantren menjelma kultur yang terpisah, sekaligus menjadi bagian dari kultur masyarakat.
Dalam hal ini, Gus Dur telah menunjukkan tiga karakter pesantren sebagai bagian dari subkultur. Pertama, pandangan hidup unik. Yakni nilai-nilai yang dijunjung warga pesantren, di mana kedudukan yang tinggi di hadapan Allah menjadi orientasi utama, mengalahkan tujuan duniawi. Dari sini lahirlah asetisme (az-zuhud, kealiman) di mana Muslim pesantren akan menerima dengan tabah segala kekurangan material, demi terpuaskannya keyakinan teologis. Prinsip ini merupakan adaptasi sufistik atas perilaku Nabi dan sahabat, berbarengan dengan disiplin dan ketaatan ibadah ritual yang kuat dan komprehensif. Asetisme individual ini kemudian membentuk solidaritas sosial antarwarga pesantren maupun kepedulian pesantren terhadap akar kemiskinan dimasyarakat. Dalam internal pesantren, hukum yang terberat dijatuhkan pada santri yang telah maksiat, keluar dari ketaatan agama, dengan resiko dikeluarkan dari pesantren. Sementara ranah eksternal, kemudian menciptakan berbagai bentuk community development semisal pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai realisasi dari konsep ekonomi kerakyatan, dst.
Keunikan subkultur selanjutnya adalah pola hidup warga pesantren, yang tercermin dalam dua hal: jadwal waktu dan sistem pengajaran. Pembagian waktu dalam pesantren berbeda dengan masyarakat, karena jadwal disesuaikan dengan pengajian kitab yang dilaksanakan setelah sholat wajib. Dari sini kita bisa melihat, kenapa para santri sering memasak atau mencuci pakaian tengah malam, dst. Sistem pengajaran juga bersifat unik, yang mengacu pada hubungan murid-guru berdasarkan konsep emanasi (al-faid) sufi, di mana Cahaya Sejati (an-nur) Allah menyinari wajah-wajah ulama saleh. Di sinilah lahir konsep barokah, di mana keberhasilan santri dinilai bukan dari lulusnya ujian akademik, melainkan dari ketundukan total (moral) kepada kyai, layaknya ketundukan saalik (pejalan spiritual) kepada mursyid dalam tradisi tarekat. Keunikan terakhir dari subkultur pesantren, Gus Dur temukan dalam hirarki kepemimpinan kyai, di mana kyai menjelma pengasuh sekaligus pemilik tunggal pesantren. Titik inilah yang dikritik Greg, sebab menimbulkan “pergantian kepemimpinan” feodal yang menurutnya anti manajemen rasional. Bagi Gus Dur, hirarki kepemimpinan yang berlandaskan kharisma terbukti ampuh dalam menciptakan perubahan budaya, karena kyai berperan sebagai asimilator kebudayaan ”luar” untuk dipribumisasikan dalam tradisi pesantren. Kharisma kyai juga mampu menjadi mobilisator bagi transformasi sosial, misalnya dengan pendampingan kyai terhadap sengketa tanah para petani vis a vis kolonial Belanda, yang sering berujung pada pemberontakan petani di bawah kepemimpinan kyai.
Pengambilan titik lemah pesantren juga terlihat ketika Greg melihat watak transformatif pesantren, semisal penggambaran Gus Dur terhadap pendirian Pesantren Tebuireng Jombang yang menjadi counter culture dari sekularisasi ekonomi liberal pabrik gula, yang telah meminggirkan orientasi religiusitas masyarakat Jawa. Pesantren datang, untuk mengembalikan spirit agama, melalui akulturasi antara Islam dengan tradisi lokal Jawa, sehingga masyarakat kembali menemukan spiritualitasnya. Sayang, penggambaran transformasi kultural ini langsung disambut oleh Greg melalui salah satu metodologi modernisasi, yakni kebutuhan pesantren sendiri untuk bertransformasi. Resikonya, watak populis dari peran transformasi sosial, menjadi gerakan “anti tradisi” karena Greg menyatakan bahwa pesantren tidak akan mampu menciptakan transformasi, ketika pesantren sendiri tidak mengubah dirinya dari keadaan statis. 
Permasalahannya adalah, karena Greg tidak komprehensif dalam menggali konsep Gus Dur. Padahal dalam bagian lain, secara histories Gus Dur telah memberikan argumen antropologis atas kekuatan transformatif pesantren. Menurutnya, akar kultural keterlibatan pesantren dalam proses transformasi, bisa dilihat pada keterlibatan kyai atau ajengan, dalam mendampingi para petani, baik pada ranah religi semisal memimpin selametan, memilih hari baik untuk membangun rumah, pendampingan musibah kematian, dst, hingga peleraian sengketa tanah antara petani penggarap (gogol) dan tuan tanah. Tidak jarang peleraian tersebut berakhir ekstrim karena penguasa kolonial yang lebih berpihak pada tuan tanah. Dari sinilah kita melihat lekuk sejarah pemberontakan kaum petani dibawah kepemimpinan kyai pada abad ke-19. ”Asal-usul” kultural ini diperkuat dengan metode ”tafsir membumi” semisal makna jihad dalam kitab I’anah al-Thalibin yang berarti pemerangan kemiskinan, kekurangan gizi, dan pemberian pakaian-tempat layak kepada kaum tidak mampu, dibanding jihad dalam arti perang suci. Penafsiran ini kemudian direalisasikan dalam laku kesalehan praktis yang didapatkan kalangan pesantren dari rujukan tasawuf akhlaqi, semisal Hulliyah al-Awliya’ yang banyak berisikan cerita bagaimana kaum papa dipandang mulia di hadapan Allah, karena kesabaran mereka dalam menanggung kesulitan hidup tanpa kehilangan harga diri. Dalam kesalehan praktis ini, praktik sufisme tidak terpaku pada amalan dzikir kontemplatif, namun amal shaleh yang bersifat sosial.

Bukan sistem pengetahuan
Kelemahan utama Greg, yang membuat risetnya mengalami bias intelektual berupa liberal mindedness adalah metodologi deduktif yang berangkat dari nalar, tipologi, dan orientasi modernisme, untuk dibumikan dalam serpihan-serpihan pemikiran Gus Dur. Artinya, tipologi neo-modernisme dan liberalisme yang diletakkan dalam pemikiran Gus Dur hanyalah klaim, tanpa adanya pertanggungjawaban epistemik, apa itu liberalisme, dan bangunan pemikiran Gus Dur yang bagaimana, yang sesuai dengan ideologi liberalisme.
Sejak awal, Greg hanyalah melandaskan tipologi pada judul-judul artikel Gus Dur, sehingga tidak heran jika artikel-artikel pendek yang minim bangunan intelektualisme, karena Gus Dur menulisnya dalam rubrik kolom Koran, dijadikan landasan argumentatif bagi liberalisme Gus Dur. Artinya, Greg hanya mencari-cari sempalan pemikiran Gus Dur dari artikel-artikel pendek, untuk menemukan serpihan gagasan tentang pluralisme, humanisme, progresifisme, liberalisme, dst. Hal ini bisa kita lihat dari pengumpulan artikel yang oleh Greg dimasukkan dalam satu tipologi pemikiran tertentu. Misalnya, dalam tipologi ”Dinamisasi-Tanggapan terhadap Modernitas”, Greg mencampur artikel Gus Dur, sejak Dinamisasi dan Modernisasi Pesantren, Penafsiran Kembali Ajaran Agama di Pedesaan Jawa, Baik Belum Tentu Bermanfaat, Ketat tetapi Longgar, Kiai Razaq yang Terbakar, Kiai Ikhlas dan Ko-Edukasi, Tokoh Kiai Syukri, dst. Penumpukan artikel seperti inilah yang terjadi, sebagai argumentasi liberalisme Islam Gus Dur, yang oleh Greg dicirikan melalui lima tipologi; kekuatan dan kelemahan Islam tradisional (pesantren), dinamisasi-tanggapan terhadap modernitas, pluralisme, dan humanitarianisme. 
Dalam hal ini, Greg tidak mampu merasuk dalam relung makna pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai artikel dan makalah, untuk disatukan dalam satu sistem epistemologi. Greg misalnya tidak berangkat dari metode induktif, melalui penelusuran genealogi intelektualisme Gus Dur. Padahal sejak awal, pemikiran Gus Dur berangkat dari satu pijakan konseptual yang terus mengalami perubahan dan kesinambungan (change and continuity) melalui tesa anti-tesa yang berkelanjutan. Gus Dur misalnya berangkat dari kritik ”ekonomi kasar” marxisme ortodoks Gramscian, yang melihat proses produksi sebagai satu-satunya modal perubahan, meskipun pada satu titik, Gus Dur tetap menggunakan analisa marxian guna melihat pergulatan ekonomi sub-sisten petani. Dari Gramsci, Gus Dur melangkah pada Teologi Pembebasan (liberation theology) Gustavo Gueterez, karena Gramsci ternyata tidak mampu melihat potensi agama sebagai basis perubahan ideologis kultural. Dari sinilah, Gus Dur kemudian menjadikan NU vis a vis Soeharto, sebagai eksperimen pergerakan pembebasan keagamaan, melalui penggunaan budaya (hegemony) sebagai perang posisi (war of position) atas hegemoni negara.  Pada titik inilah, kedekatan konseptual antara Gus Dur dengan Hassan Hanafi menemu ruang. Oleh karena itu, proyek pembaruan tradisi (al-turast wa al-tajdid) yang Gus Dur gerakkan tidak melulu liberalisasi, tetapi lebih kepada rekonstruksi tradisi untuk transformasi sosial. Tafsir ”Kiri Islam” inilah yang agaknya lebih relevan bagi posisi Gus Dur sebagai pemimpin Muslim tradisional, yang terpinggirkan, baik oleh westernisasi teori dan agenda modernisasi politik (developmentalisme), maupun represifitas Orde Baru, di mana Gus Dur melakukan oposisi kultural dengan pemerintah.  Kecenderungan Gus Dur kepada al-Ghazali yang membuatnya tidak terjebak pada rasionalitas Islamic Aristotelianism,  namun tetap menggunakan nalar intuitif juga tidak mampu dilihat Greg, meskipun berulangkali Greg telah memahami religiusitas Gus Dur. 
Ketidakmampuan menerobos struktur pemikiran ini juga berakibat pada luputnya covering Greg atas gagasan utama Gus Dur, yakni Pribumisasi Islam. Kenapa? Karena paradigma Greg telah terkonstruk oleh mindset modernisasi, di mana tradisi dan basis kultural tidak dilihat sebagai kekuatan sosial, melainkan sebaliknya: ”penyakit” kemajuan. Dalam Pribumisasi Islam, jelas kita bisa menemukan argumentasi bahwa pemikiran Islam Gus Dur bukan merupakan bagian dari liberalisme, atau neo-modernisme yang bermakna ”mencari-cari” kesejarahan modernisme dalam tradisi Islam. Memang Pribumisasi Islam merupakan solusi bagi ketegangan antara ajaran normatif agama dengan kultur tradisi yang selalu berubah. Melalui kaidah fiqh, hukum agama yang kaku dan universal bisa mengakomodir kebutuhan lokal yang tentunya telah mengalami Hinduisasi. Demikian juga ketika tasawuf Sunni mampu menyatukan substansi mistik Islam dengan kebatinan Hindu-Jawa, sehingga santri NU dengan apik mendapatkan proses perjalanan spiritualnya dalam berbagai lakon wayang.
Pribumisasi fiqh dan tasawuf ini tentu membawa akibat de-Arabisasi, dan inilah titik pertemuan dengan agenda liberalisme: anti Islamisme. Hanya melihat Pribumisasi Islam dari perspektif de-Arabisasi akan berbahaya, sebab selain perlawanan atas ikonoklasme (penghancuran ikon tradisi lokal) Islam, Gus Dur menambatkan pergerakannya pada strategi sosio-kultural. Strategi ini merupakan sintesa dari dua strategi; sosio-politik melalui formalisasi agama, serta strategi kultural dengan melakukan reformasi pemikiran. Jelas, Gus Dur tidak memilih (hanya) reformasi pemikiran, karena baginya, masyarakat bawah sudah memiliki mekanisme berpikir sendiri bagi penyelesaian masalahnya, yang berbeda dengan sudut pandang elite cendekia. Strategi sosio-kultural adalah sebuah pergerakan kebudayaan, di mana agama menjadi spirit bagi perubahan pada level sub-sistem (bukan konstitusi negara), sehingga pelencengan atas nilai-nilai kelembagaan (semisal Pancasila) bisa dikritik, sembari melakukan pendampingan atas perubahan dilevel grass roots, melalui independensi kemampuan masyarakat sendiri. Targetnya bukan formalisasi agama, melainkan penciptaan budaya transformatif, berupa keadilan ekonomi, penegakan hukum, dan kebebasan demokratis.        
Di sinilah letak pergerakan transformatif yang oleh Gus Dur dilakukan melalui penggunaan basis massa dan budaya NU, dengan menciptakan perebutan tafsir atas ideologi kekuasaan. Kita bisa lihat pada era Soeharto, di mana Gus Dur menjadikan NU sebagai kekuatan penyeimbang atas dua hegemoni: negara dan islamisasi. Dalam hal ini, gerak islamisasi melembaga dalam ICMI, di mana para cendekia Muslim, aktivis, dan birokrat telah dibuatkan sangkar oleh Soeharto guna melegitimasi kekuasaaanya. Pada titik inilah, anti-islamisasi NU menemu ruang, yakni bukan sebatas perlawanan terhadap Piagam Jakarta, syari’at, atau Negara Islam, melainkan perselingkuhan antara Islam dengan kepentingan jangka pendek negara. Di sinilah momen Rapat Akbar (1 Maret 1992) dalam rangka Harlah ke-66 NU menjelma theatricum symbolicum atas kooptasi Soeharto.  Pada momen itu, Gus Dur dan NU melakukan penolakan secara vulgar atas pemaksaan Soeharto kepada segenap ormas guna mendukung pencalonannya kembali pada Pemilu 1992. Di sini Gus Dur menjadikan Pancasila, sebagai perlawanan simbolik, yang membuat negara tidak mampu mengambil tindakan represif, sebab NU untuk kesekian kali (pasca 1984) meneguhkan kembali kesetiaan terhadap Pancasila, sembari mengkritik penyelewengan nilai-nilai Pancasila yang dilakukan negara.
Demikian juga ketika bersama Marsilam Simanjutak, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi pada Maret 1991.  Tujuannya sama, yakni mengimbangi sektarianisme Islam politik (ICMI) yang berusaha mengulang lagi potensi “re-kofessionalisasi” politik dan intoleransi agama, pasca-finalnya bentuk negara bangsa RI. Peristiwa yang paling menggangu adalah kasus Monitor (Oktober 1990) di mana sebagian Muslim melakukan usul pembredelan pers, diakibatkan penempatan Nabi Muhammad pada urutan ke-11 tokoh pilihan publik, jauh di bawah Soeharto yang menempati urutan utama. Isu sektarian muncul bersaman dengan kepentingan politik sebagian kelompok Muslim, karena redaksi Monitor berasal dari kalangan Katolik. Dari sini, kegerahan pemerintah semakin menjadi, karena sembari menggunakan NU sebagai oposisi kultural, Gus Dur juga menjadikan Fordem sebagai kritikus pedas pemerintah. Isu yang diangkat seputar kritik atas ”demokrasi seolah-olah” yang diterapkan pemerintah, di mana pemilu dan adanya lembaga demokrasi (trias politica) telah diklaim negara sebagai perwujudan dari demokrasi. Fordem menyangkal hal itu, karena budaya demokratis semisal kebebasan pers, ekspresi pemikiran, aspirasi ideologi non-negara, pelanggaran HAM oleh militer, dst. belum mendapatkan prioritas untuk ditegakkan sesuai nilai-nilai demokrasi.
Pada titik inilah kesalahpahaman para Indonesianis peneliti Gus Dur terulang untuk kesekian kali. Semisal covering Douglas E. Ramage yang mengklaim bahwa pergerakan demokratisasi Gus Dur adalah mindset demokrasi sekular, yang menyatakan ”…bila Indonesia benar-benar akan menjadi civil society yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama.”   Klaim ini tentu bertentangan dengan keyakinan dan model gerakan Gus Dur sendiri, yang menjadikan NU: komunitas agama terbesar, sebagai modal perubahan politik, baik atas sektarianisme Islam(is), terlebih otoritarianisme negara. Artinya, Ramage kemudian terjebak pada perspektif strukturalisme dalam melihat politik, yakni kegiatan politik dibatasi hanya pada partai dan struktur pemerintah, sehingga pergerakan politik kebudayaan, di mana agama menjadi basis spirit perubahan kultural, tidak mampu dilihatnya. Hanya karena ”agama” NU-lah, Soeharto tidak berani memberangus kritisisme Gus Dur. Selain kekuatan massa nahdliyyin, juga keuntungan negara atas gerakan politik keagamaan NU yang menghambat laju radikalisme agama. Hal yang sama juga dialami Greg, ketika menyatakan bahwa bukti humanitarianisme liberal Gus Dur adalah gerakan pembaruan demokrasinya.  Hal ini tentu kontradiktif dengan term pembaruan demokrasi itu sendiri.  Di sini Greg kurang mampu menggali otentisitas konsep demokrasi Gus Dur. Karena apa yang disebut sebagai pembaruan demokrasi merupakan kritik Gus Dur atas proseduralisme demokrasi, yakni pelaksanaan demokrasi hanya sebatas pemilu dan berdirinya institusi negara. Satu kritik yang dalam diskursus demokrasi, mengemuka dalam perdebatan kritik atas model demokrasi liberal.
Demikianlah, pemenjaraan Greg terhadap pemikiran Gus Dur ke dalam term Islam liberal. Hal tersebut muncul dari kritik pasca-strukturalisme Althusser-ian, yang melihat terciptanya aparat ideologis kapitalisme (ideological state appatuse) yang bertugas mengkondisikan kebudayaan Muslim, agar sesuai dengan kebudayaan liberal. Pengkondisian ini dilakukan oleh para pemikir melalui pembentukan wacana (discourse) yang oleh Fouchault ditujukan untuk membentuk kesadaran palsu pada level teks. Sehingga tanpa pikir panjang, masyarakat Muslim kemudian mengiyakan ”kebenaran linguistik” yang terdapat dalam berbagai pemikiran peneliti Barat.  Artinya, Greg telah melakukan apa yang oleh Leonard Binder disebut sebagai rangkaian liberalisasi kebudayaan, di mana Greg melibatkan diri dalam wacana rasional Muslim, melalui pemasukan diskursus liberalisme dalam pemikiran Islam. Di sinilah metodologi liberalisme mengemuka, yakni memperlakukan agama sebagai pendapat rasional, dan karenanya mentolerir keanekaragaman dalam bidang yang justru diyakini secara hitam putih oleh kaum Muslim. Rasionalisasi agama ini digerakkan demi terciptanya wacana rasional yang terbebas dari beban-beban primordialisme mistik, sehingga masyarakat yang berlainan bisa melahirkan consensus rasional, yang berguna bagi penciptaan program strategis demi berlangsungnya agenda pemerintahan (ekonomi) liberal.  Hal ini sesuai dengan kesejarahan liberalisme, yang berangkat dari revolusi industri, di mana tatanan feodal telah digantikan oleh kontrak rasional, tidak berdasarkan elite agama atau tuan tanah, melainkan oleh kualitas individu berdasarkan persaingan bebas. Liberalisme lahir dari konflik agama, yang melahirkan Protestantisme, sehingga pemecahan masalah tidak lagi dicarikan solusinya pada lembaran dogmatis teks suci, melainkan pada rasionalitas instrumental yang bebas dari aturan Tuhan. 
Dari sini, validkah jika pemikiran Gus Dur kemudian dimasukkan dalam idoelogi dan agenda liberalisme? Hal ini menjadi persoalan sangat mendasar, sebab perebutan Gus Dur ke dalam liberalisme, berarti pembelokan makna, dan arah perjuangan Muslim, nahdliyyin khususnya, dalam menggerakkan idealismenya. Di sinilah Greg tidak mampu melihat setting sosio-politik yang melahirkan intelektualisme Gus Dur. Seperti kita tahu, pemikiran Gus Dur lahir dalam situasi hegemoni westernisasi, yang melembaga dalam proyek pembangunanisme Orde Baru. Artinya, jika Gus Dur bagian dari liberalisme, mengapa sejak era Soeharto, hingga kini, concern-nya bukan pada percepatan ekonomi kelas tinggi? Bahkan saat menjadi presiden, Gus Dur bersama Kwik Kian Gie berulangkali harus membuat IMF gerah,  akibat gagalnya kesepakatan bersama antara pemerintah dan donor internasional itu? Kenapa juga, Gus Dur berhadapan dengan kaum teknokrat yang menjadi aparat ideologis pemerintah guna melancarkan proyek pembangunan dengan mengesampingkan agama dan kebudayaan?  Artinya, kaum teknokrat yang pada era Orde Baru, menjelma agen modernisasi melalui peminggirannya terhadap tradisi Islam, adalah akar dari para ekonom pro pasar era sekarang, yang membela penyunatan subsidi BBM demi terjaminnya structural adjusment policy dengan IMF, agar Indonesia bisa tetap utang, serta terlibat dalam ekonomi dunia, meskipun menjerat leher kemiskinan rakyat. Jika Gus Dur liberal, kenapa juga ia menggerakkan Pribumisasi Islam? Padahal, satu karakter dari liberalisme adalah anti pati terhadap tradisi lokal, karena di dalamnya terdapat budaya feodal, dogmatisme, mistisisme, dst. yang tentu dianggap tidak kondusif bagi spirit kapitalisme. Berbagai tanda tanya pada level makro sosio-politik inilah yang harus kita lihat, untuk mendefinisikan sebuah pemikiran masuk dalam bagian liberalisme atau tidak. Jika pada level metodologi, Gus Dur menggunakan ijtihad, satu metode yang oleh peneliti Barat dianggap mewakili dekonstruksi rasionalisme, maka apakah Gus Dur kemudian menggerakkan liberalisme, jika pada tataran ekonomi politik, ia terbukti melawan hegemoni IMF, serta berbagai konsepsi populistik dalam pemikiran ekonominya, semisal pendirian BPR sebagai realisasi konsep koperasi pada ranah warga nahdliyyin. Terpulang kepada kejernihan kita, untuk menilai semua ini...  
 
*Tulisan selengkapnya ada di Jurnal Pesantren Ciganjur edisi 2