Keluarga Besar Al Yamani

Kamis, 17 Maret 2011

pdiiu

Bias Liberalisme dalam Studi Pemikiran Gus Dur : Studi Kritis Neo-modernisme Greg Barton*
Jumat, 24 Juli 2009 12:31:25
Oleh Syaiful Arif

”Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa liberalisme Islam justru ditentang di lingkungan NU sendiri? Jawabnya terletak dalam kenyataan, bahwa dilingkungan NU, pembaruan pada umumnya terjadi tanpa menggunakan label apapun. Sewaktu KH. A. Wahid Hasyim kembali dari Mekkah pada tahun 1931, ia langsung mengadakan perombakan pada kurikulum madrasah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berhasil, karena justru perombakan itu dilakukan tanpa nama apapun. Seolah-olah tidak ada perubahan apapun. Dengan demikian, ia menjaga perasaan orang yang masih mengikuti cara berpikir lama.”  (Gus Dur, 2005)
Rangkaian kalimat di atas adalah kalimat penutup yang disampaikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam acara peluncuran buku Menjadi Muslim Liberal karya Ulil Abshar Abdalla di Paramadina, 29 November 2005. Tentu, sekilas orang pasti terjebak dalam stereo type, bahwa ketika Gus Dur memberikan tanggapan atas pemikiran tertentu, maka secara otomatis, ia merupakan bagian dari pemikiran atau ideologi tersebut. Kebanyakan orang terjebak pada partikularisme pemikiran dan langkah politik Gus Dur, tanpa memiliki kemampuan melihat secara komprehensif, berdasarkan latar belakang kultural (cultural paradigm), atau bahkan epistemologi, sehingga dengan gegabah, pemikiran dan aksi Gus Dur dimasukkan dalam ideologi tertentu, semisal liberalisme, atau dalam kasus ini, neo-modernisme yang telah ”dicetak” oleh Greg Barton.
Memang, studi tentang pemikiran Gus Dur merupakan pintu gerbang bagi ”arus balik” penelitian Islam, khususnya Islam yang sering dikategorikan sebagai tradisionalis, dari paradigma modern mindedness (pengagungan terhadap modernitas) kepada mindset riset yang lebih ”menghormati tradisi”. Sejak awal 1950 hingga dekade 1970-an, penelitian terhadap Islam Indonesia mengalami bias modernisasi. Ada dua agen di sana. Pertama, Muslim modernis yang memang sejak dekade 1930-an telah berseteru dengan Muslim tradisional, sehingga lahirlah NU yang meskipun bukan reaksi atas puritanisme, namun telah lama menyimpan pergulatan panjang dengan komunitas Muslim pengikut Syekh Abduh, semisal SI, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persis. Puncak seteru tersebut terjadi ketika NU keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai sendiri pada 1952. Dari sinilah, kajian tentang (politik) NU berjalin kelindan dengan sinisme Masyumi, karena NU dianggap mengkhianati perjuangan Islam melalui koalisi dengan pihak nasionalis. Beberapa Indonesianis semisal Lance Cantles, Ernst Utrecht, Daniel S. Lev, Justun M. Van der Kroef, Arnold C. Brackman, Allan A. Samson, dan tesis seorang Muhammadiyah, Mochtar Naim, melihat keseluruhan dari politik NU era Soekarno, sebagai ”yang luar biasa oportunisnya, yang selalu memihak penguasa!”
Agen kedua adalah para peneliti Barat, yang mempunyai kepentingan mendedahkan modernisasi di Dunia Ketiga. Mereka menganggap bahwa kunci modernisasi adalah penerapan pola-pola kapitalisme Barat dalam pembangunan. Oleh karenanya, perlu dilakukan identifikasi dan penetapan agen-agen pelaku modernisasi di kalangan masyarakat Dunia Ketiga yang memiliki ketrampilan dan sikap yang diperlukan demi proses pembangunan. Sikap ini terutama terdapat dalam komitmen pemecahan masalah secara rasional, manajemen administratif, serta orientasi ekonomis, berlandaskan spirit kerja yang tinggi. Pada titik inilah, NU dengan segenap tradisi Islamnya dianggap ”lain” dari berbagai prasyarat kapitalisme tersebut. Kultur agama yang sikretik, dianggap melanggengkan irrasionalitas. Kepemimpinan kharisma berlandaskan ketundukan penuh, dilihat sebagai feodalisme yang anti demokrasi dan pengaturan manajemen rasional. Etos asketisnya, diklaim sebagai sikap anti etos kerja duniawi, karena hanya berorientasi pada kekayaan ukhrawi. Dari sinilah, NU menjelma ”sisa-sisa” (remnants) masa lalu yang tidak patut untuk dikaji, atau bahkan harus diubah, agar sesuai dengan spirit kapitalisme.
Model riset seperti ini kemudian berubah sejak pertengahan dekade 1970-an hingga awal 1990. Salah satu penyebabnya adalah usaha Gus Dur dalam memperkenalkan ”Islam tradisi” kepada kancah intelektualisme nasional. Esai-esai Gus Dur tentang pesantren, semisal artikel pertama yang dimuat koran (Kompas): Pesantren dalam Kesusastraan Indonesia (26 November 1973) tak diragukan lagi merupakan pengenalan ilmiah atas tradisi pesantren yang selama itu tidak diketahui, sehingga dianggap sebagai kultur primitif dan anti modernitas.  Selanjutnya adalah Khittah 26. Kepemimpinan NU era Gus Dur kemudian memaksa para Indonesianis untuk merevisi tesis oportunisme politik NU, karena ormas sarungan ini tiba-tiba saja menjadi incaran media massa, disebabkan sikap oposisionalnya terhadap negara, satu hal yang berbeda dengan Muslim modernis yang malah ”dilembagakan” oleh pemerintah dalam ICMI, guna melegitimasi kekuasaan. NU era Orde Baru kemudian dijelmakan sebagai ”tradisionalisme radikal”,  karena berulang kali melakukan penolakan massal atas kooptasi Soeharto.        
Dari sinilah riset Greg Barton, seorang pengajar senior Studi Perbandingan Seni, Sains dan Agama pada Deakin University, di Geelong, Victoria, Australia, menemu ruang. Risetnya terfokus dalam pencarian genre pemikiran Islam: neo-modernisme, yang ia temukan dalam pemikiran Gus Dur, Cak Nur, Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. Hasil riset tersebut kemudian dibukukan dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Paramadina, 1999). Meskipun masih kontroversial, karena tidak ada pertanggungjawaban ilmiah atas imbuhan judul gagasan Islam liberal, namun buku Greg telah lama menjadi rujukan utama dalam menemukan legitimasi bagi akar-akar liberalisme Islam di Indonesia. Legitimasi tersebut, secara taken for granted kemudian diterima oleh banyak kalangan, untuk mengamini bahwa Gus Dur merupakan salah satu founding fathers gerakan liberal Islam. Jika Cak Nur adalah penggerak liberalisme diranah kota, maka Gus Dur merupakan Bapak liberalisme pada area pesantren, NU, dan Islam tradisional. Demikianlah keyakinan (atau setidaknya klaim) sebagian pihak. 
Tulisan ini ditujukan untuk mengklarifikasi klaim tersebut, dengan melakukan kritik wacana atas hasil riset Greg Barton, sembari melakukan penggalian pemikiran Gus Dur ”yang lain”, guna menemukan riset intelektualisme yang seimbang, dan lepas dari bias ideologi tertentu. Hal ini berangkat dari satu postulat Orientalisme, di mana riset ”orang luar”, bagaimanapun detail dan netralnya, harus dikritisi, sebab selain perbedaan paradigma dan kesejarahan, peneliti luar tentu tidak bisa mengalami ”struktur maknawi” seorang pemikir Muslim pribumi, semisal ketidakmampuan para Indonesianis NU dalam memasuki logika ushul fiqh dan tasawuf, sehingga pergulatan NU hanya dilihat dari ”optik” political science. Permasalahan juga muncul dari genre neo-modernisme sendiri. Sebagai tipologi pemikiran, neo-modernisme ternyata mengalami bias modernisasi. Hal ini disebabkan belum tuntasnya kerja Fazlurrahman dalam menciptakan aplikasi metodologis, pembaruan pemikiran Islam, pada ranah sosio-politik, sehingga sebagian pihak masih melihat keterjebakan para penggerak neo-modernisme dalam konstruk paradigma dan teori modernisasi.  Keterjebakan ini terlihat dari tatapan sinis dalam memandang tradisionalisme Islam di Indonesia, karena telah menjadi fakta sejarah, bahwa gerakan pembaruan pemikiran Islam ternyata memberikan keuntungan dan legitimasi religius bagi proyek modernisasi politik Soeharto. Kalau begitu, bagaimana dengan Gus Dur yang saat itu melakukan oposisi dengan negara?
Dalam hal ini, fokus covering pemikiran Gus Dur yang dilakukan Greg adalah tulisan-tulisan Gus Dur sejak awal 1970 hingga awal dekade 1980-an, yang terakumulasi dalam dua buku. Pertama, esai-esai pesantren dari 1973 hingga akhir 1977 yang kemudian dibukukan dalam Bunga Rampai Pesantren (1978). Dalam karya ini, Gus Dur menjelma ”jendela pemikiran santri” yang memperkenalkan keunggulan serta kelemahan sistem pesantren sebagai representasi dari Islam tradisional. Dari sinilah Greg kemudian memberikan dua tipologi pemikiran Gus Dur, yakni kekuatan Islam tradisional dan sistem pesantren, serta kelemahan Islam tradisional di Indonesia. Buku kedua, Muslim di Tengah Pergumulan (1981) yang oleh Greg dimaknai sebagai responsi Gus Dur atas berbagai tantangan modernitas. Dalam hal ini Greg kemudian memasukkan terma modernisasi di dalam konsep Gus Dur tentang ”dinamisasi”, serta mengimbuhi orientasi kemanusiaan Gus Dur dengan labeling pluralisme dan humanitarianisme liberal.  
Kita patut memberi apresiasi kepada covering Greg atas pemikiran Gus Dur, yang kemudian dimasukkan dalam gerbong neo-modernisme Islam, bersama dengan Cak Nur, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. Bagi Greg, covering pemikiran tersebut merupakan apresiasinya terhadap kemunculan genre baru kebangkitan Islam (Islamic revivalism) yang mungkin membuat kalangan peneliti Barat berbinar-binar, karena Islam Indonesia telah mampu beradaptasi dan bahkan mungkin menjadi agen modernitas. Neo-modernisme adalah tipologi ciptaan Fazlur Rahman, yang konon menjadi penyempurna dari ketiga kebangkitan Islam; revivalisme, modernisme, dan neo-revivalisme, yang terbukti terjebak dalam apologetisme tradisi, serta pengagungan Barat yang berlebihan, sehingga menghancurkan tradisi Islam. Greg menemukan neo-modernisme dalam pemikiran Gus Dur, karena pemimpin Muslim tradisional ini, mampu menunjukkan modernitas sebagai nilai inheren Islam. Dengan demikian Islam tidak bertentangan dengan modernisme, karena dalam dirinya sudah mengandung kekuatan kemajuan, layaknya ditemukan Cak Nur dalam Piagam Madinah, mengutip ”kebahagiaan” Robert N Bellah, karena sejak awal, umat Islam ternyata menerapkan sistem politik modern yang identik dengan demokrasi.

Minim metodologi
Sejak awal, Greg telah menggambarkan sulitnya menyatukan berbagai pemikiran Gus Dur yang tersebar dalam ”lemparan-lemparan” artikel, ke dalam sebuah sistem pengetahuan. Hal tersebut ditandaskannya melalui kutipan kata pengantar Gus Dur terhadap dua bukunya. Gus Dur sendiri konon ”meragukan” apakah lemparan pemikirannya, yang diperuntukkan kepada khalayak umum, melalui koran, majalah (Tempo), seminar, dan jurnal (Prisma) mampu ditemukan dalam rangkaian sistematika epistemologis. Berangkat dari fakta ini, Greg kemudian memilih ”metodologi” membiarkan tulisan Gus Dur berbicara apa adanya, melalui tekanan pemilihan terhadap pemikiran yang istimewa.
Minimnya metodologi sebagai pertanggungjawaban Greg, atas tipologisasi neo-modernisme dan bahkan Islam liberal pada pemikiran Gus Dur memang sangat disayangkan. Sebab bagaimanapun, netralitas yang ingin diperlihatkan Greg melalui metode membiarkan tulisan Gus Dur ”bicara sendiri”, tentu kontradiktif dengan pemilihan Greg terhadap ide-ide Gus Dur ”yang istimewa”, karena definisi ”yang istimewa” tersebut pasti berangkat dari satu subjektifisme peneliti, yang sayangnya kurang argumentatif dari sisi epistemologi. Konsekuensinya, terjadilah bias modern atau bahkan liberal mindedness dalam penelitian Greg, sehingga covering pemikiran Gus Dur tidak komprehensif, comot sana comot sini, tanpa terciptanya satu bangunan pemikiran yang sesuai dengan ”struktur maknawi” pemikiran seorang Gus Dur. Hal tersebut bisa kita dapatkan dalam beberapa hal.
Pertama, liberal mindedness. Perspektif sarwa liberal membuat analisa Greg terkesan bersifat apologetis, yakni memaksakan konsepsi Gus Dur kedalam ideologi modernisme dan liberalisme. Dalam artikel, Liberalisme: Dasar-dasar Progresifitas Pemikiran Abdurrahman Wahid, Greg menemukan modernisme dalam konsep Gus Dur tentang “dinamisasi”. Berangkat dari kesadaran, bahwa sebagai neo-modernis, Gus Dur jarang mencuatkan diskursus ijtihad, satu kata kunci bagi para peneliti Barat tentang neo-modernisme Islam, Greg kemudian menemukan spirit ijtihad yang secara implisit terdapat dalam ”dinamisasi”. Oleh Greg, ”dinamisasi” tidak hanya dimaknai sebagai sikap energik dan totalitas hidup, melainkan juga kemampuan beradaptasi dan merespons secara kreatif lingkungan yang sulit. Respon kreatif ini Greg temukan dalam penggalian Gus Dur atas adaptasi pesantren dan hukum Islam terhadap modernisasi (pembangunanisme). 
Perspektif modernis ini tentu membawa konsekuensi “perebutan makna” dari apa yang sebenarnya dimaksudkan Gus Dur. Hal ini bisa kita lihat dari deskripsi Gus Dur atas konsep “dinamisasi”, yang secara eksplisit dinyatakan sebagai berikut : ”Dinamisasi, pada asasnya mencakup dua proses, yaitu penggalakkan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, di samping mencakup pula penggantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses pergantian nilai itu dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini, bahwa pengertian modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi. Sedangkan kata dinamisasi itu sendiri, dalam penggunaannya di sini akan memiliki konotasi/mafhum ”perubahan ke arah penyempurnaan keadaan”, dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada sebagai dasar. Dikemukakan prinsip di sini, karena ada keyakinan, konsep-konsep yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita percaya, pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka panjang akan memberikan hasil yang lebih baik dari konsep manapun.
Dari teks ini, jelas kita dapatkan pembelokan makna oleh Greg, sebab secara eksplisit Gus Dur telah menyatakan bahwa modernisasi (penggantian nilai lama oleh nilai baru) secara inheren merupakan satu langkah dalam dinamisasi, setelah langkah pertama yakni penggalakan nilai lama dilakukan. Artinya, proses modernisasi Gus Dur berbeda dengan konsep modernisasi Greg. Modernisasi Gus Dur merujuk pada proses al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dalam konsep ini, Gus Dur dan segenap Muslim NU tetap mengacu pada penggunaan tradisi sebagai basis bagi pembaruan, sehingga tidak terjadi diskontinuitas kesejarahan. 
Sementara itu, modernisasi Greg lebih merujuk pada ideologi modernisasi politik yang memiliki dua kata kunci : rasionalisasi dan sekularisasi. Hal ini bisa kita lihat dari pengutipan Greg atas alinea tulisan Gus Dur yang ”serba kelemahan tradisi”, semisal kritik konstruktif Gus Dur atas sikap ”tenggelam dalam masa lalu” kalangan pesantren sebagai respon reaktif atas modernitas, serta sikap pseudo-modernism yang dilakukan kalangan pesantren dengan hanya melaksanakan ”adaptasi wajah kultural” dari modernitas semisal kegiatan ”penguasaan mikrophone”. Greg juga meletakkan kritik terhadap kepemimpinan kharisma kyai, sebagai penghambat perencanaan rasional atas program jangka panjang pesantren. Modernisasi Greg juga mengacu pada sekularisasi, dengan memberikan titik tekan pada ”penduniawian” hukum Islam, sebagai prasyarat agar fiqh tidak terjebak dalam dogmatisme statis yang terpinggirkan oleh kemajuan zaman. Hanya memang, sebagai konsekuensi dari neo-modernisme, Greg akhirnya menyadari bahwa ”dinamisasi” Gus Dur bukan berangkat dari tekanan modernitas, melainkan lahir dari keyakinan bahwa Islam bukanlah agama statis, sehingga dinamisasi lebih sebagai ekspresi Islam dalam bentuk terbaiknya, yang tradisional, fleksibel, dan adaptif. 
Perspektif liberal mindedness juga terbaca dalam tipologi humanitarianisme liberal. Oleh Greg, istilah humanitarisnisme mengacu pada concern Gus Dur terhadap kebaikan dalam perspektif kemanusiaan yang dipadukan dengan perhatian terhadap kesejahteraan individu. Dalam hal ini Greg menyatakan:

Tidak mengejutkan, hal yang sama (kecintaan terhadap pesantren dan respons terhadap modernitas) ditemukan disejumlah kolom Abdurrahman sejak tahun 1970-an. Kalaupun ada karakteristik yang berbeda, hal ini terletak pada perspektif humanitarisnisme fundamentalnya, yakni perhatiannya terhadap harmoni sosial, toleransi, hak-hak dan kepentingan orang lain. Humanitarisnisme ini lahir berdasarkan pemahamannya terhadap Islam. Seluruh karya pada 1970-an terutama di kolom-kolom Tempo belakangan, memperlihatkan dengan jelas bahwa Abdurrahman meyakini ekspresi sejati Islam, hanya bisa dihasilkan jika semangat hukum, hakikat didudukkan sebagai kepentingan utama. Bahkan jikapun hal tersebut harus mengorbankan penafsiran konvensional terhadap ayat hukum…

Bukti lebih lanjut dari pluralisme maupun keyakinan humanitarisnismenya, bisa dilihat pada keinginan besar untuk melakukan pembaharuan demokrasi, kebebasan berpendapat dan nilai-nilai liberal secara umum…

Penjelasan Abdurrahman mengenai motif atau minimal tujuan-tujuan utama humanitarisnisme liberal memang sering diulang-ulang, kendati sangat sederhana. Abdurrahman, pertama-tama dan utama adalah seorang pemikir keagamaan: Islam, yang memberikan tempat yang besar bagi pemikirannya, adalah liberal secara fundamental.

Dari sini terlihat jelas keterjebakan Greg tersebut, yakni ketika ia memasukkan concern kemanusiaan Gus Dur kedalam terma dan isme semisal humanisme liberal, meskipun untuk kesekian kali Greg harus membuat pembedaan, ketika humanisme Gus Dur tidak berangkat dari sekularisme, melainkan dari kedalaman teologis, sehingga kemanusiaan tidak secara otomatis melakukan dekonstruksi atas bangunan transendensi ketuhanan.
Hanya saja, penggunaan ”optik” luar kepada pemikiran seorang Muslim (pribumi) memberikan ekses negatif berupa Orientalisme. Gus Dur adalah ”Gus Dur yang di liberalkan Greg!”. Pada titik inilah, Greg kurang mampu melihat pemikiran Gus Dur tentang liberalisme dan humanisme. Hal ini menjadi mainstream budaya penelitian oleh peneliti Barat, yang tidak mampu melihat proses indigenisasi keilmuan oleh para pemikir Dunia Islam, yang sebenarnya telah melakukan penyaringan atas berbagai pemikiran dan kebudayaan ”luar” untuk dipribumisasikan ke dalam tradisi pribumi. Dalam artikel panjang Pribumisasi Islam, Gus Dur menandaskan bahwa, meskipun nilai-nilai keadilan, persamaan, dan demokrasi sebenarnya bukan hanya milik Islam, tetapi juga milik kemanusiaan (humanisme universal), namun wawasan, lingkup, watak, sasaran, dan tujuannya tetap berbeda. Perbedaan tersebut dapat dikenali manakala rincian dari nilai-nilai dasar itu diungkap kembali dari perbendaharaan keilmuan Islam yang sangat kaya.  
Dari paparan ini kita akan mafhum bahwa kemanusiaan yang digerakkan Gus Dur tidak harus dirujukkan pada nilai, isme, atau malah ideologi tertentu. Sebab lebih dari sekadar penyaringan budaya, Gus Dur sebenarnya telah melakukan penggalian otentisitas Islam, bukan sebatas kehendak glorifikasi masa lalu (layaknya kaum salafi), melainkan nilai-nilai khas, yang berangkat dari sejarah, kultur, dan orientasi spiritualitas Islam yang tentunya berbeda dengan Barat.  Akan berbahaya jika satu pemikiran dan pergerakan keagamaan dilihat ”secara paksa” dari satu perspektif ideologi tertentu, sebab ia akan membelokkan orientasi Islam kedalam pergerakan politik, demikian juga kegagalan akan menimpa tujuan politik tersebut, disebabkan oleh orientasi agama, yang jelas berbeda dengan ideologi politik. Hal ini yang menyebabkan ketidaksetujuan Gus Dur terhadap ”penyatuan” Islam dan marxisme, karena sebagai gerakan ideologis, marxisme akan menyeret Islam kedalam represifitas politik, sehingga agama kehilangan peran otentiknya.  Demikian juga ketika Islam kemudian dimasukkan dalam terminologi liberalisme, yang tentunya bersifat kontradiktif, karena liberalisme berorientasi pada kapitalisme, sementara menurut Gus Dur, seorang Muslim sejati dengan sendirinya bersifat anti-kapitalisme, karena zakat memberikan pertanda larangan Islam terhadap penumpukan pemilikan pribadi.

Memilih kelemahan tradisi
Pembelokan makna kedua, yang dilakukan Greg adalah dengan (hanya) memilih ”sisi gelap” tradisi Islam yang ditulis oleh Gus Dur. Hal ini membawa dampak negatif menyimpangnya latar belakang dan orientasi pemikiran, plus ketiadaan komprehensitas pemikiran Gus Dur, karena Greg hanya mengutip hal-hal yang sesuai dengan kepentingan modernisme dan liberalisme.
Langkah tersebut misalnya dengan hanya memilih poin-poin artikel Gus Dur tentang pesantren, yang bersifat manajerial semisal pesantren dan kurikulum, modernisasi pesantren, pengembangan kepemimpinan kyai, dst dengan meninggalkan artikel Gus Dur yang bersifat galian kebudayaan, semisal kesinambungan sejarah pesantren dengan Islam Nusantara, tradisi perlawanan kyai terhadap kolonialisme, atau exploring Gus Dur terhadap perwujudan kultural Islam a la pesantren, yang merupakan kesantuan fiqh-sufistik. Pemilihan artikel majanerial dan hubungan pesantren-modernitas memang membawa titik lemah pesantren, sebab sebagai institusi tradisional, manajemen pesantren berbeda dengan manajemen administrasi modern. Sementara itu, kekuatan pesantren yang terdapat dalam galian kebudayaan Islam yang dilakukan Gus Dur tidak di cover secara mendalam oleh Greg, sehingga covering Greg terlihat berat sebelah. 
Hal ini bisa kita lihat dalam pemotretan Greg terhadap pemikiran Gus Dur tentang subkultur pesantren. Seharusnya, pengkajian pesantren sebagai subkultur bisa membawa Greg kepada pemahaman mendalam akan keunikan dan kedalaman kebudayaan pesantren dan Islam tradisi, sebab di sini Gus Dur sangat ilmiah, detail, dan komprehensif dalam menggali dan menyusun sistem kebudayaan pesantren. Gus Dur pada titik tertentu menggunakan metode ”deskripsi mendalam” (tick description) a la Clifford Geertz, dengan menjadikan dirinya sebagai objek dan subjek penelitian yang menafsirkan penafsiran (interpretation of interpretation) Muslim terhadap sistem makna (system of meaning) dalam simbol-simbol keagamaannya. Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur secara kritis menggunakan konsepsi Geertz tentang cara kehidupan santri dalam melihat uniqueness pola keseharian santri,  cultural brokers guna melihat peran kebudayaan kyai,  agricultural involution guna membaca mekanisme ”pembagian kemiskinan” petani di mana para kyai terlibat dalam pendampingan kultural,  serta konsep Geertz tentang aspek transformatif dalam agama, sebagai kritik atas pendekatan fungsionalisme antropologi Mallinowski-an.  Dari penggunaan Gus Dur terhadap Geertz saja bisa kita lihat bahwa seharusnya pengkajian pesantren harus lebih empiris dan mendalam, karena metodologi antropologi Geertz bersifat hermeneutis, yakni mencoba menggali penafsiran objek penelitian terhadap makna dari kebudayaannya. Di sinilah seharusnya Greg mampu masuk pada ”sistem maknawi” Gus Dur dalam menjelaskan makna kebudayaan pesantren, sehingga kajian pesantren tidak bersifat dangkal dan modern mindedness, layaknya pemaksaan Weber atas rasionalisasi dan asketisme duniawi a la Calvinis terhadap tradisi Islam, sehingga Islam dianggap terbelakang dan tidak kondusif bagi spirit kemajuan.  
Sampai di sini, penulis akan mengurai tekstualisme Greg atas pemikiran subkultur pesantren Gus Dur, dengan harapan terjadinya penempatan kembali kajian pesantren a la Gus Dur secara proporsional. Kajian Greg terhadap Pesantren sebagai Subkultur ditempatkan sebagai subtema dalam tipologi Kekuatan Islam Tradisional dan Sistem Pesantren. Secara analitis, Greg menyatakan:

Ditulis tahun 1974 sebagai bab utama untuk buku tentang pesantren dan perubahan, artikel “Pesantren sebagai Sub-Kultur” merepresentasikan sebuah karya akademik dan tajam dalam memilah unsur-unsur berbeda dalam pesantren, di mana unsur tersebut secara tentatif dikemukakan Abdurrahman sebagai dasar keseluruhan sub-kultur. Dan yang membuat artikel ini menarik, sedikitnya bagi studi ini, terletak pada cara Abdurrahman menengahi dua dunia yakni dunia pesantren dan dunia modern atau masyarakat perkotaan sekular...

Akan tetapi bukti-bukti kecintaan Abdurrahman kepada pesantren tidak terlampau menonjol, karena yang menonjol adalah ketika ia mampu mengartikulasikan pandangan kehidupan dunia pesantren dari sudut pandang orang luar…

Kemampuan untuk menengahi dunia sekular dan sakral tampak selalu hadir dalam tulisan Abdurrahman, sehingga hal itu merupakan salah satu sebutan yang meneguhkan klaim Abdurrahman sendiri sebagai pluralis”.

Sejak dari sini, Greg sudah berbuat tidak adil. Kalimat ”Akan tetapi bukti-bukti kecintaan Abdurrahman kepada pesantren tidak terlampau menonjol..”  sangat tidak empiris, sebab artikel Pesantren sebagai Subkultur adalah penggalian Gus Dur paling komprehensif atas kekuatan pesantren sebagai kekuatan budaya Muslim Nusantara, yang menunjukkan pengetahuan dan kecintaan mendalam Gus Dur terhadap kebudayaan pesantren. Sejak awal, Greg tidak mampu meng-eksplore konsepsionalisasi Gus Dur tentang subkultur pesantren yang sangat mempesona. Padahal, secara mendalam Gus Dur telah menggali tiga bentuk karakter pesantren sebagai subkultur. Pada titik ini, posisi subkultur ditemukan Gus Dur atas posisi pesantren yang memiliki subkultur tersendiri, sehingga mampu independen dari kultur masyarakat, namun independensi kultural tersebut sekaligus mampu menciptakan transformasi masyarakat. Dengan kata lain, subkultur adalah sebuah posisi di mana pesantren menjelma kultur yang terpisah, sekaligus menjadi bagian dari kultur masyarakat.
Dalam hal ini, Gus Dur telah menunjukkan tiga karakter pesantren sebagai bagian dari subkultur. Pertama, pandangan hidup unik. Yakni nilai-nilai yang dijunjung warga pesantren, di mana kedudukan yang tinggi di hadapan Allah menjadi orientasi utama, mengalahkan tujuan duniawi. Dari sini lahirlah asetisme (az-zuhud, kealiman) di mana Muslim pesantren akan menerima dengan tabah segala kekurangan material, demi terpuaskannya keyakinan teologis. Prinsip ini merupakan adaptasi sufistik atas perilaku Nabi dan sahabat, berbarengan dengan disiplin dan ketaatan ibadah ritual yang kuat dan komprehensif. Asetisme individual ini kemudian membentuk solidaritas sosial antarwarga pesantren maupun kepedulian pesantren terhadap akar kemiskinan dimasyarakat. Dalam internal pesantren, hukum yang terberat dijatuhkan pada santri yang telah maksiat, keluar dari ketaatan agama, dengan resiko dikeluarkan dari pesantren. Sementara ranah eksternal, kemudian menciptakan berbagai bentuk community development semisal pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai realisasi dari konsep ekonomi kerakyatan, dst.
Keunikan subkultur selanjutnya adalah pola hidup warga pesantren, yang tercermin dalam dua hal: jadwal waktu dan sistem pengajaran. Pembagian waktu dalam pesantren berbeda dengan masyarakat, karena jadwal disesuaikan dengan pengajian kitab yang dilaksanakan setelah sholat wajib. Dari sini kita bisa melihat, kenapa para santri sering memasak atau mencuci pakaian tengah malam, dst. Sistem pengajaran juga bersifat unik, yang mengacu pada hubungan murid-guru berdasarkan konsep emanasi (al-faid) sufi, di mana Cahaya Sejati (an-nur) Allah menyinari wajah-wajah ulama saleh. Di sinilah lahir konsep barokah, di mana keberhasilan santri dinilai bukan dari lulusnya ujian akademik, melainkan dari ketundukan total (moral) kepada kyai, layaknya ketundukan saalik (pejalan spiritual) kepada mursyid dalam tradisi tarekat. Keunikan terakhir dari subkultur pesantren, Gus Dur temukan dalam hirarki kepemimpinan kyai, di mana kyai menjelma pengasuh sekaligus pemilik tunggal pesantren. Titik inilah yang dikritik Greg, sebab menimbulkan “pergantian kepemimpinan” feodal yang menurutnya anti manajemen rasional. Bagi Gus Dur, hirarki kepemimpinan yang berlandaskan kharisma terbukti ampuh dalam menciptakan perubahan budaya, karena kyai berperan sebagai asimilator kebudayaan ”luar” untuk dipribumisasikan dalam tradisi pesantren. Kharisma kyai juga mampu menjadi mobilisator bagi transformasi sosial, misalnya dengan pendampingan kyai terhadap sengketa tanah para petani vis a vis kolonial Belanda, yang sering berujung pada pemberontakan petani di bawah kepemimpinan kyai.
Pengambilan titik lemah pesantren juga terlihat ketika Greg melihat watak transformatif pesantren, semisal penggambaran Gus Dur terhadap pendirian Pesantren Tebuireng Jombang yang menjadi counter culture dari sekularisasi ekonomi liberal pabrik gula, yang telah meminggirkan orientasi religiusitas masyarakat Jawa. Pesantren datang, untuk mengembalikan spirit agama, melalui akulturasi antara Islam dengan tradisi lokal Jawa, sehingga masyarakat kembali menemukan spiritualitasnya. Sayang, penggambaran transformasi kultural ini langsung disambut oleh Greg melalui salah satu metodologi modernisasi, yakni kebutuhan pesantren sendiri untuk bertransformasi. Resikonya, watak populis dari peran transformasi sosial, menjadi gerakan “anti tradisi” karena Greg menyatakan bahwa pesantren tidak akan mampu menciptakan transformasi, ketika pesantren sendiri tidak mengubah dirinya dari keadaan statis. 
Permasalahannya adalah, karena Greg tidak komprehensif dalam menggali konsep Gus Dur. Padahal dalam bagian lain, secara histories Gus Dur telah memberikan argumen antropologis atas kekuatan transformatif pesantren. Menurutnya, akar kultural keterlibatan pesantren dalam proses transformasi, bisa dilihat pada keterlibatan kyai atau ajengan, dalam mendampingi para petani, baik pada ranah religi semisal memimpin selametan, memilih hari baik untuk membangun rumah, pendampingan musibah kematian, dst, hingga peleraian sengketa tanah antara petani penggarap (gogol) dan tuan tanah. Tidak jarang peleraian tersebut berakhir ekstrim karena penguasa kolonial yang lebih berpihak pada tuan tanah. Dari sinilah kita melihat lekuk sejarah pemberontakan kaum petani dibawah kepemimpinan kyai pada abad ke-19. ”Asal-usul” kultural ini diperkuat dengan metode ”tafsir membumi” semisal makna jihad dalam kitab I’anah al-Thalibin yang berarti pemerangan kemiskinan, kekurangan gizi, dan pemberian pakaian-tempat layak kepada kaum tidak mampu, dibanding jihad dalam arti perang suci. Penafsiran ini kemudian direalisasikan dalam laku kesalehan praktis yang didapatkan kalangan pesantren dari rujukan tasawuf akhlaqi, semisal Hulliyah al-Awliya’ yang banyak berisikan cerita bagaimana kaum papa dipandang mulia di hadapan Allah, karena kesabaran mereka dalam menanggung kesulitan hidup tanpa kehilangan harga diri. Dalam kesalehan praktis ini, praktik sufisme tidak terpaku pada amalan dzikir kontemplatif, namun amal shaleh yang bersifat sosial.

Bukan sistem pengetahuan
Kelemahan utama Greg, yang membuat risetnya mengalami bias intelektual berupa liberal mindedness adalah metodologi deduktif yang berangkat dari nalar, tipologi, dan orientasi modernisme, untuk dibumikan dalam serpihan-serpihan pemikiran Gus Dur. Artinya, tipologi neo-modernisme dan liberalisme yang diletakkan dalam pemikiran Gus Dur hanyalah klaim, tanpa adanya pertanggungjawaban epistemik, apa itu liberalisme, dan bangunan pemikiran Gus Dur yang bagaimana, yang sesuai dengan ideologi liberalisme.
Sejak awal, Greg hanyalah melandaskan tipologi pada judul-judul artikel Gus Dur, sehingga tidak heran jika artikel-artikel pendek yang minim bangunan intelektualisme, karena Gus Dur menulisnya dalam rubrik kolom Koran, dijadikan landasan argumentatif bagi liberalisme Gus Dur. Artinya, Greg hanya mencari-cari sempalan pemikiran Gus Dur dari artikel-artikel pendek, untuk menemukan serpihan gagasan tentang pluralisme, humanisme, progresifisme, liberalisme, dst. Hal ini bisa kita lihat dari pengumpulan artikel yang oleh Greg dimasukkan dalam satu tipologi pemikiran tertentu. Misalnya, dalam tipologi ”Dinamisasi-Tanggapan terhadap Modernitas”, Greg mencampur artikel Gus Dur, sejak Dinamisasi dan Modernisasi Pesantren, Penafsiran Kembali Ajaran Agama di Pedesaan Jawa, Baik Belum Tentu Bermanfaat, Ketat tetapi Longgar, Kiai Razaq yang Terbakar, Kiai Ikhlas dan Ko-Edukasi, Tokoh Kiai Syukri, dst. Penumpukan artikel seperti inilah yang terjadi, sebagai argumentasi liberalisme Islam Gus Dur, yang oleh Greg dicirikan melalui lima tipologi; kekuatan dan kelemahan Islam tradisional (pesantren), dinamisasi-tanggapan terhadap modernitas, pluralisme, dan humanitarianisme. 
Dalam hal ini, Greg tidak mampu merasuk dalam relung makna pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai artikel dan makalah, untuk disatukan dalam satu sistem epistemologi. Greg misalnya tidak berangkat dari metode induktif, melalui penelusuran genealogi intelektualisme Gus Dur. Padahal sejak awal, pemikiran Gus Dur berangkat dari satu pijakan konseptual yang terus mengalami perubahan dan kesinambungan (change and continuity) melalui tesa anti-tesa yang berkelanjutan. Gus Dur misalnya berangkat dari kritik ”ekonomi kasar” marxisme ortodoks Gramscian, yang melihat proses produksi sebagai satu-satunya modal perubahan, meskipun pada satu titik, Gus Dur tetap menggunakan analisa marxian guna melihat pergulatan ekonomi sub-sisten petani. Dari Gramsci, Gus Dur melangkah pada Teologi Pembebasan (liberation theology) Gustavo Gueterez, karena Gramsci ternyata tidak mampu melihat potensi agama sebagai basis perubahan ideologis kultural. Dari sinilah, Gus Dur kemudian menjadikan NU vis a vis Soeharto, sebagai eksperimen pergerakan pembebasan keagamaan, melalui penggunaan budaya (hegemony) sebagai perang posisi (war of position) atas hegemoni negara.  Pada titik inilah, kedekatan konseptual antara Gus Dur dengan Hassan Hanafi menemu ruang. Oleh karena itu, proyek pembaruan tradisi (al-turast wa al-tajdid) yang Gus Dur gerakkan tidak melulu liberalisasi, tetapi lebih kepada rekonstruksi tradisi untuk transformasi sosial. Tafsir ”Kiri Islam” inilah yang agaknya lebih relevan bagi posisi Gus Dur sebagai pemimpin Muslim tradisional, yang terpinggirkan, baik oleh westernisasi teori dan agenda modernisasi politik (developmentalisme), maupun represifitas Orde Baru, di mana Gus Dur melakukan oposisi kultural dengan pemerintah.  Kecenderungan Gus Dur kepada al-Ghazali yang membuatnya tidak terjebak pada rasionalitas Islamic Aristotelianism,  namun tetap menggunakan nalar intuitif juga tidak mampu dilihat Greg, meskipun berulangkali Greg telah memahami religiusitas Gus Dur. 
Ketidakmampuan menerobos struktur pemikiran ini juga berakibat pada luputnya covering Greg atas gagasan utama Gus Dur, yakni Pribumisasi Islam. Kenapa? Karena paradigma Greg telah terkonstruk oleh mindset modernisasi, di mana tradisi dan basis kultural tidak dilihat sebagai kekuatan sosial, melainkan sebaliknya: ”penyakit” kemajuan. Dalam Pribumisasi Islam, jelas kita bisa menemukan argumentasi bahwa pemikiran Islam Gus Dur bukan merupakan bagian dari liberalisme, atau neo-modernisme yang bermakna ”mencari-cari” kesejarahan modernisme dalam tradisi Islam. Memang Pribumisasi Islam merupakan solusi bagi ketegangan antara ajaran normatif agama dengan kultur tradisi yang selalu berubah. Melalui kaidah fiqh, hukum agama yang kaku dan universal bisa mengakomodir kebutuhan lokal yang tentunya telah mengalami Hinduisasi. Demikian juga ketika tasawuf Sunni mampu menyatukan substansi mistik Islam dengan kebatinan Hindu-Jawa, sehingga santri NU dengan apik mendapatkan proses perjalanan spiritualnya dalam berbagai lakon wayang.
Pribumisasi fiqh dan tasawuf ini tentu membawa akibat de-Arabisasi, dan inilah titik pertemuan dengan agenda liberalisme: anti Islamisme. Hanya melihat Pribumisasi Islam dari perspektif de-Arabisasi akan berbahaya, sebab selain perlawanan atas ikonoklasme (penghancuran ikon tradisi lokal) Islam, Gus Dur menambatkan pergerakannya pada strategi sosio-kultural. Strategi ini merupakan sintesa dari dua strategi; sosio-politik melalui formalisasi agama, serta strategi kultural dengan melakukan reformasi pemikiran. Jelas, Gus Dur tidak memilih (hanya) reformasi pemikiran, karena baginya, masyarakat bawah sudah memiliki mekanisme berpikir sendiri bagi penyelesaian masalahnya, yang berbeda dengan sudut pandang elite cendekia. Strategi sosio-kultural adalah sebuah pergerakan kebudayaan, di mana agama menjadi spirit bagi perubahan pada level sub-sistem (bukan konstitusi negara), sehingga pelencengan atas nilai-nilai kelembagaan (semisal Pancasila) bisa dikritik, sembari melakukan pendampingan atas perubahan dilevel grass roots, melalui independensi kemampuan masyarakat sendiri. Targetnya bukan formalisasi agama, melainkan penciptaan budaya transformatif, berupa keadilan ekonomi, penegakan hukum, dan kebebasan demokratis.        
Di sinilah letak pergerakan transformatif yang oleh Gus Dur dilakukan melalui penggunaan basis massa dan budaya NU, dengan menciptakan perebutan tafsir atas ideologi kekuasaan. Kita bisa lihat pada era Soeharto, di mana Gus Dur menjadikan NU sebagai kekuatan penyeimbang atas dua hegemoni: negara dan islamisasi. Dalam hal ini, gerak islamisasi melembaga dalam ICMI, di mana para cendekia Muslim, aktivis, dan birokrat telah dibuatkan sangkar oleh Soeharto guna melegitimasi kekuasaaanya. Pada titik inilah, anti-islamisasi NU menemu ruang, yakni bukan sebatas perlawanan terhadap Piagam Jakarta, syari’at, atau Negara Islam, melainkan perselingkuhan antara Islam dengan kepentingan jangka pendek negara. Di sinilah momen Rapat Akbar (1 Maret 1992) dalam rangka Harlah ke-66 NU menjelma theatricum symbolicum atas kooptasi Soeharto.  Pada momen itu, Gus Dur dan NU melakukan penolakan secara vulgar atas pemaksaan Soeharto kepada segenap ormas guna mendukung pencalonannya kembali pada Pemilu 1992. Di sini Gus Dur menjadikan Pancasila, sebagai perlawanan simbolik, yang membuat negara tidak mampu mengambil tindakan represif, sebab NU untuk kesekian kali (pasca 1984) meneguhkan kembali kesetiaan terhadap Pancasila, sembari mengkritik penyelewengan nilai-nilai Pancasila yang dilakukan negara.
Demikian juga ketika bersama Marsilam Simanjutak, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi pada Maret 1991.  Tujuannya sama, yakni mengimbangi sektarianisme Islam politik (ICMI) yang berusaha mengulang lagi potensi “re-kofessionalisasi” politik dan intoleransi agama, pasca-finalnya bentuk negara bangsa RI. Peristiwa yang paling menggangu adalah kasus Monitor (Oktober 1990) di mana sebagian Muslim melakukan usul pembredelan pers, diakibatkan penempatan Nabi Muhammad pada urutan ke-11 tokoh pilihan publik, jauh di bawah Soeharto yang menempati urutan utama. Isu sektarian muncul bersaman dengan kepentingan politik sebagian kelompok Muslim, karena redaksi Monitor berasal dari kalangan Katolik. Dari sini, kegerahan pemerintah semakin menjadi, karena sembari menggunakan NU sebagai oposisi kultural, Gus Dur juga menjadikan Fordem sebagai kritikus pedas pemerintah. Isu yang diangkat seputar kritik atas ”demokrasi seolah-olah” yang diterapkan pemerintah, di mana pemilu dan adanya lembaga demokrasi (trias politica) telah diklaim negara sebagai perwujudan dari demokrasi. Fordem menyangkal hal itu, karena budaya demokratis semisal kebebasan pers, ekspresi pemikiran, aspirasi ideologi non-negara, pelanggaran HAM oleh militer, dst. belum mendapatkan prioritas untuk ditegakkan sesuai nilai-nilai demokrasi.
Pada titik inilah kesalahpahaman para Indonesianis peneliti Gus Dur terulang untuk kesekian kali. Semisal covering Douglas E. Ramage yang mengklaim bahwa pergerakan demokratisasi Gus Dur adalah mindset demokrasi sekular, yang menyatakan ”…bila Indonesia benar-benar akan menjadi civil society yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama.”   Klaim ini tentu bertentangan dengan keyakinan dan model gerakan Gus Dur sendiri, yang menjadikan NU: komunitas agama terbesar, sebagai modal perubahan politik, baik atas sektarianisme Islam(is), terlebih otoritarianisme negara. Artinya, Ramage kemudian terjebak pada perspektif strukturalisme dalam melihat politik, yakni kegiatan politik dibatasi hanya pada partai dan struktur pemerintah, sehingga pergerakan politik kebudayaan, di mana agama menjadi basis spirit perubahan kultural, tidak mampu dilihatnya. Hanya karena ”agama” NU-lah, Soeharto tidak berani memberangus kritisisme Gus Dur. Selain kekuatan massa nahdliyyin, juga keuntungan negara atas gerakan politik keagamaan NU yang menghambat laju radikalisme agama. Hal yang sama juga dialami Greg, ketika menyatakan bahwa bukti humanitarianisme liberal Gus Dur adalah gerakan pembaruan demokrasinya.  Hal ini tentu kontradiktif dengan term pembaruan demokrasi itu sendiri.  Di sini Greg kurang mampu menggali otentisitas konsep demokrasi Gus Dur. Karena apa yang disebut sebagai pembaruan demokrasi merupakan kritik Gus Dur atas proseduralisme demokrasi, yakni pelaksanaan demokrasi hanya sebatas pemilu dan berdirinya institusi negara. Satu kritik yang dalam diskursus demokrasi, mengemuka dalam perdebatan kritik atas model demokrasi liberal.
Demikianlah, pemenjaraan Greg terhadap pemikiran Gus Dur ke dalam term Islam liberal. Hal tersebut muncul dari kritik pasca-strukturalisme Althusser-ian, yang melihat terciptanya aparat ideologis kapitalisme (ideological state appatuse) yang bertugas mengkondisikan kebudayaan Muslim, agar sesuai dengan kebudayaan liberal. Pengkondisian ini dilakukan oleh para pemikir melalui pembentukan wacana (discourse) yang oleh Fouchault ditujukan untuk membentuk kesadaran palsu pada level teks. Sehingga tanpa pikir panjang, masyarakat Muslim kemudian mengiyakan ”kebenaran linguistik” yang terdapat dalam berbagai pemikiran peneliti Barat.  Artinya, Greg telah melakukan apa yang oleh Leonard Binder disebut sebagai rangkaian liberalisasi kebudayaan, di mana Greg melibatkan diri dalam wacana rasional Muslim, melalui pemasukan diskursus liberalisme dalam pemikiran Islam. Di sinilah metodologi liberalisme mengemuka, yakni memperlakukan agama sebagai pendapat rasional, dan karenanya mentolerir keanekaragaman dalam bidang yang justru diyakini secara hitam putih oleh kaum Muslim. Rasionalisasi agama ini digerakkan demi terciptanya wacana rasional yang terbebas dari beban-beban primordialisme mistik, sehingga masyarakat yang berlainan bisa melahirkan consensus rasional, yang berguna bagi penciptaan program strategis demi berlangsungnya agenda pemerintahan (ekonomi) liberal.  Hal ini sesuai dengan kesejarahan liberalisme, yang berangkat dari revolusi industri, di mana tatanan feodal telah digantikan oleh kontrak rasional, tidak berdasarkan elite agama atau tuan tanah, melainkan oleh kualitas individu berdasarkan persaingan bebas. Liberalisme lahir dari konflik agama, yang melahirkan Protestantisme, sehingga pemecahan masalah tidak lagi dicarikan solusinya pada lembaran dogmatis teks suci, melainkan pada rasionalitas instrumental yang bebas dari aturan Tuhan. 
Dari sini, validkah jika pemikiran Gus Dur kemudian dimasukkan dalam idoelogi dan agenda liberalisme? Hal ini menjadi persoalan sangat mendasar, sebab perebutan Gus Dur ke dalam liberalisme, berarti pembelokan makna, dan arah perjuangan Muslim, nahdliyyin khususnya, dalam menggerakkan idealismenya. Di sinilah Greg tidak mampu melihat setting sosio-politik yang melahirkan intelektualisme Gus Dur. Seperti kita tahu, pemikiran Gus Dur lahir dalam situasi hegemoni westernisasi, yang melembaga dalam proyek pembangunanisme Orde Baru. Artinya, jika Gus Dur bagian dari liberalisme, mengapa sejak era Soeharto, hingga kini, concern-nya bukan pada percepatan ekonomi kelas tinggi? Bahkan saat menjadi presiden, Gus Dur bersama Kwik Kian Gie berulangkali harus membuat IMF gerah,  akibat gagalnya kesepakatan bersama antara pemerintah dan donor internasional itu? Kenapa juga, Gus Dur berhadapan dengan kaum teknokrat yang menjadi aparat ideologis pemerintah guna melancarkan proyek pembangunan dengan mengesampingkan agama dan kebudayaan?  Artinya, kaum teknokrat yang pada era Orde Baru, menjelma agen modernisasi melalui peminggirannya terhadap tradisi Islam, adalah akar dari para ekonom pro pasar era sekarang, yang membela penyunatan subsidi BBM demi terjaminnya structural adjusment policy dengan IMF, agar Indonesia bisa tetap utang, serta terlibat dalam ekonomi dunia, meskipun menjerat leher kemiskinan rakyat. Jika Gus Dur liberal, kenapa juga ia menggerakkan Pribumisasi Islam? Padahal, satu karakter dari liberalisme adalah anti pati terhadap tradisi lokal, karena di dalamnya terdapat budaya feodal, dogmatisme, mistisisme, dst. yang tentu dianggap tidak kondusif bagi spirit kapitalisme. Berbagai tanda tanya pada level makro sosio-politik inilah yang harus kita lihat, untuk mendefinisikan sebuah pemikiran masuk dalam bagian liberalisme atau tidak. Jika pada level metodologi, Gus Dur menggunakan ijtihad, satu metode yang oleh peneliti Barat dianggap mewakili dekonstruksi rasionalisme, maka apakah Gus Dur kemudian menggerakkan liberalisme, jika pada tataran ekonomi politik, ia terbukti melawan hegemoni IMF, serta berbagai konsepsi populistik dalam pemikiran ekonominya, semisal pendirian BPR sebagai realisasi konsep koperasi pada ranah warga nahdliyyin. Terpulang kepada kejernihan kita, untuk menilai semua ini...  
 
*Tulisan selengkapnya ada di Jurnal Pesantren Ciganjur edisi 2



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar