Keluarga Besar Al Yamani

Kamis, 18 November 2010

ibnu thufail



IBNU THUFAIL

I. PENDAHULUAN
Ibnu Thufai adalah salah satu filsuf yang terpikat oleh pemikiran-pemikiran Yunani dan berusaha menyelaraskan dengan ajaran Islam. Karya monumental yang berjudul Hayy Bin Yaqzhan membuktikan hal itu. Tulisan ini sendiri berposisi untuk mengungkapkan jejak-jejak Hellenisme dalam pikiran Ibnu Thufai dalam konteks upaya penyelarasannya dengan ajaran Islam. [1]Oleh karena itu, makalah dibawah ini, akan menjelasakan tentang
pandangan Ibnu Thufai.
II. Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Abd al- Malik Ibnu Muhammad Ibnu Thufail (latin, Abubacer) pemuka besar pertama pemikiran filosofis Muwahhid dari Spanyol. Ia dilahirkan di Guadix, provinsi Granada, ia termauk dalam keluarga suku arab terkemuka Qais. Dalam bahasa latin ia lebih populer dengan sebutan Abu Bacer. Ibnu Thufail meninggal di Maroko pada tahun 581 H/1185 M.
Ibnu Thufail memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang (all round). Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astonomi dan penyair yang sangat terkenal dari dinasti Al-Muwahhid spanyol. Ia mulai karirnya menjadi dokter praktek di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia di angkat menjadi sekretaris Gubernur di Provinsi itu, kemudian ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Geuta dan Tanqier oleh putra al-Mu’min (penguasa al-Muwaddin Spanyol), setelah itu ia diangkat menjadi dokter pemerintahan dan sekaligus menjadi Qodhi’[2].
Ibnu Thufail adalah seorang dokter, filsuf, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwaddin Spanyol, tapi sayangnya hanya sedikit sekali karya-karyanya yag dikenal orang.
Miguel Casiri (1122 H/1710 M-1205 H/1790 M) menyebutkan dua karya yang masih ada, yaitu: Risalah hay Ibn Yaqzhan dan Asrar al-Hikmah al- Mashriqiyyah, yang disebu terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari Asror menyebutkan bahwa itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hayy Ibn Yaqzhan fi Asror al-Hikmah al-Mashriqiyyah.[3]
Kata Ibnu Thufail ini merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh Ibn Sina kepada salah satu karya esoteriknya, tapi Ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman filosofis yang unik. Ketajaman filosofisnya yang menandai kebenaran kisah ini dan ia menjadikannya salah satu kisah yang paling asli dan paling indah pada abad pertengahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini diterjemahkan kedalam bahasa ibrani, Latin, Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol. Bahkan pada zaman modern pun minat terhadap karya Ibnu Thufail ini tetap ada.[4]
III. Karya Filsafat Ibnu Thufail
 Sekilas Tentang Hayy Bin Haqzhan
Roman ini diawali dengan kisah seorang bayi yang dihanyutkan ibunya (dalam versi lain, ia terlahir secara spontan karena keseimbangan unsure-unsur tanah) dan diasuh oleh seekor rusa betina disebuah pulau yang tidak berpenghuni, dibawah asuhan rusa tersebut, sibayi tumbuh layaknya anak manusia kebanyakan, baik fisik maupun psikisnya. Dalam menggunakan rasionya, ia mampu menangkap konsep-konsep filosofis sampai akhirnya ia mencapai puncak pengalaman sekstase mistik.
setelah melakukan observasi terhadap jasad rusa yang telah mati tersebut. Ia menemukan “sesuatu” yang menguasai tubuh, yaitu ruh hayawaniah. Tersusun dari pengertian jismiah dan makna tambahan lain. Pengertian jismiah ini dimiliki oleh semua benda, sedang makna tambahan ini dimiliki oleh kekhasan oleh masing-masing benda. Dari sinilah Hayy menemukan an-Nafs (jiwa). Dalam konteks filsafat aristotelianisme, jiwa adalah Form sedang ruh adalah matter.5 Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufail mendukung teori evolusis.

IV. Pemikiran Ibnu Thufail
1. Metafisika (ketuhanan)
Tuhan menurut Ibnu Thufail adalah pemberi wujud pada semua makhluk. Untuk membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga argument, yaitu:
a) Argumen Gerak (al-Harokat).
Gerak ala mini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu (hadist), berarti ala mini sebelumnya tidak ada, kemudian menjai ada. Oleh karena itu berarti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada yang disebut dengan Allah. Tapi bagi orang yang menyakini alam kadim, alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada, gerak ala mini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir, karena zaman tidak mendahuluinya (tidak didahului oleh diam) adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya penggerak.
b) Argumen Materi (al-Madat)
Argument ini, menurut Ibnu Thufail dapat membuktikan adanya Allah, baik yang menyakini alam kadim maupun hadistnya. Dalam hal ini Ibnu Thufail mengemukakan pokok pikirannya yang terkait antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
1) Segala yang ada ini tersusun dai materi dan  benuk;
2)  Setiap materi membutuhkan bentuk;
3) Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak;
4) Segala yang ada (maujud) untuk berseksistens
Dengan argumen diatas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alami ni, Ia Maha Kuasa, bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir[5]
c) Argumen al-Gayyat dan al-Mayyat.
Pada argumen ini pernah dikemukakan oleh al-kindi dan Ibn Sina, bahwa segala yang ada di ala mini mempunyai tujuan tertentu dan merupakan inayah dari Allah.
2. Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahului oleh zaman (taqaddum zamany), dilihat dari esensinya alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah (illat).
Pandangan menurut Ibnu Thufail ini merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang meyatakan alam baharu.


3. Jiwa  
Menurut Ibnu Thufail jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi martabanya. Menusia terdiri dari dua unsur , yakni jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan juga bukan sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian) jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail jiwa terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-Nafs al-Hayawaniyyah), kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya, yaitu jiwa manusia (al-Nafs al- natiqat).
4. Epistimologi
Dalam epistimologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Menurutnya ma’rifat di lakukan denga dua cara, yaitu:
a) Pemikiran/renungan akal, seperti yang dilakukan para filsuf muslim;
b) Kasyf ruhani (tasawwuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kamu sufi. Ma’rifat kasyf ruhani ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan ruhani dengan penuh kesungguhan.
5. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman filsafat hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Dalam hal ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris. Kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.[6]



V. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Thufail adalah seorang Filosof yang memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang, tetapi idak banyak mempunyai karya-karya seperti filosof lainnya, hanya sedikit karya-karyanya yang dikenal oleh orang. Kemudian pemikiran yang dihasilkan oleh Ibnu Thufail, yaitu: metafisika, Fisika, Jiwa, Epistimologi dan Rekonsiliasi antara filsafat dan agama









IBNU THUFAIL

I. PENDAHULUAN
Ibnu Thufai adalah salah satu filsuf yang terpikat oleh pemikiran-pemikiran Yunani dan berusaha menyelaraskan dengan ajaran Islam. Karya monumental yang berjudul Hayy Bin Yaqzhan membuktikan hal itu. Tulisan ini sendiri berposisi untuk mengungkapkan jejak-jejak Hellenisme dalam pikiran Ibnu Thufai dalam konteks upaya penyelarasannya dengan ajaran Islam. [1]Oleh karena itu, makalah dibawah ini, akan menjelasakan tentang
pandangan Ibnu Thufai.
II. Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Abd al- Malik Ibnu Muhammad Ibnu Thufail (latin, Abubacer) pemuka besar pertama pemikiran filosofis Muwahhid dari Spanyol. Ia dilahirkan di Guadix, provinsi Granada, ia termauk dalam keluarga suku arab terkemuka Qais. Dalam bahasa latin ia lebih populer dengan sebutan Abu Bacer. Ibnu Thufail meninggal di Maroko pada tahun 581 H/1185 M.
Ibnu Thufail memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang (all round). Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astonomi dan penyair yang sangat terkenal dari dinasti Al-Muwahhid spanyol. Ia mulai karirnya menjadi dokter praktek di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia di angkat menjadi sekretaris Gubernur di Provinsi itu, kemudian ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Geuta dan Tanqier oleh putra al-Mu’min (penguasa al-Muwaddin Spanyol), setelah itu ia diangkat menjadi dokter pemerintahan dan sekaligus menjadi Qodhi’[2].
Ibnu Thufail adalah seorang dokter, filsuf, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwaddin Spanyol, tapi sayangnya hanya sedikit sekali karya-karyanya yag dikenal orang.
Miguel Casiri (1122 H/1710 M-1205 H/1790 M) menyebutkan dua karya yang masih ada, yaitu: Risalah hay Ibn Yaqzhan dan Asrar al-Hikmah al- Mashriqiyyah, yang disebu terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari Asror menyebutkan bahwa itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hayy Ibn Yaqzhan fi Asror al-Hikmah al-Mashriqiyyah.[3]
Kata Ibnu Thufail ini merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh Ibn Sina kepada salah satu karya esoteriknya, tapi Ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman filosofis yang unik. Ketajaman filosofisnya yang menandai kebenaran kisah ini dan ia menjadikannya salah satu kisah yang paling asli dan paling indah pada abad pertengahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini diterjemahkan kedalam bahasa ibrani, Latin, Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol. Bahkan pada zaman modern pun minat terhadap karya Ibnu Thufail ini tetap ada.[4]
III. Karya Filsafat Ibnu Thufail
 Sekilas Tentang Hayy Bin Haqzhan
Roman ini diawali dengan kisah seorang bayi yang dihanyutkan ibunya (dalam versi lain, ia terlahir secara spontan karena keseimbangan unsure-unsur tanah) dan diasuh oleh seekor rusa betina disebuah pulau yang tidak berpenghuni, dibawah asuhan rusa tersebut, sibayi tumbuh layaknya anak manusia kebanyakan, baik fisik maupun psikisnya. Dalam menggunakan rasionya, ia mampu menangkap konsep-konsep filosofis sampai akhirnya ia mencapai puncak pengalaman sekstase mistik.
setelah melakukan observasi terhadap jasad rusa yang telah mati tersebut. Ia menemukan “sesuatu” yang menguasai tubuh, yaitu ruh hayawaniah. Tersusun dari pengertian jismiah dan makna tambahan lain. Pengertian jismiah ini dimiliki oleh semua benda, sedang makna tambahan ini dimiliki oleh kekhasan oleh masing-masing benda. Dari sinilah Hayy menemukan an-Nafs (jiwa). Dalam konteks filsafat aristotelianisme, jiwa adalah Form sedang ruh adalah matter.5 Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufail mendukung teori evolusis.

IV. Pemikiran Ibnu Thufail
1. Metafisika (ketuhanan)
Tuhan menurut Ibnu Thufail adalah pemberi wujud pada semua makhluk. Untuk membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga argument, yaitu:
a) Argumen Gerak (al-Harokat).
Gerak ala mini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu (hadist), berarti ala mini sebelumnya tidak ada, kemudian menjai ada. Oleh karena itu berarti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada yang disebut dengan Allah. Tapi bagi orang yang menyakini alam kadim, alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada, gerak ala mini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir, karena zaman tidak mendahuluinya (tidak didahului oleh diam) adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya penggerak.
b) Argumen Materi (al-Madat)
Argument ini, menurut Ibnu Thufail dapat membuktikan adanya Allah, baik yang menyakini alam kadim maupun hadistnya. Dalam hal ini Ibnu Thufail mengemukakan pokok pikirannya yang terkait antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
1) Segala yang ada ini tersusun dai materi dan  benuk;
2)  Setiap materi membutuhkan bentuk;
3) Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak;
4) Segala yang ada (maujud) untuk berseksistens
Dengan argumen diatas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alami ni, Ia Maha Kuasa, bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir[5]
c) Argumen al-Gayyat dan al-Mayyat.
Pada argumen ini pernah dikemukakan oleh al-kindi dan Ibn Sina, bahwa segala yang ada di ala mini mempunyai tujuan tertentu dan merupakan inayah dari Allah.
2. Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahului oleh zaman (taqaddum zamany), dilihat dari esensinya alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah (illat).
Pandangan menurut Ibnu Thufail ini merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang meyatakan alam baharu.


3. Jiwa  
Menurut Ibnu Thufail jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi martabanya. Menusia terdiri dari dua unsur , yakni jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan juga bukan sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian) jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail jiwa terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-Nafs al-Hayawaniyyah), kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya, yaitu jiwa manusia (al-Nafs al- natiqat).
4. Epistimologi
Dalam epistimologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Menurutnya ma’rifat di lakukan denga dua cara, yaitu:
a) Pemikiran/renungan akal, seperti yang dilakukan para filsuf muslim;
b) Kasyf ruhani (tasawwuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kamu sufi. Ma’rifat kasyf ruhani ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan ruhani dengan penuh kesungguhan.
5. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman filsafat hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Dalam hal ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris. Kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.[6]



V. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Thufail adalah seorang Filosof yang memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang, tetapi idak banyak mempunyai karya-karya seperti filosof lainnya, hanya sedikit karya-karyanya yang dikenal oleh orang. Kemudian pemikiran yang dihasilkan oleh Ibnu Thufail, yaitu: metafisika, Fisika, Jiwa, Epistimologi dan Rekonsiliasi antara filsafat dan agama


























AFTAR PUSTAKA
Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Yoyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Prof. Dr. H. Sirajjuddin, MA. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Yogyakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.
M.M. Syarif, MA. “The Philosophers”, dari buku History of Muslim Philoshophy,
Bandung: Mizan, cet. I, 1985



























IBNU THUFAIL
MAK ALA H
Tugas ini disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
: Filsafat Islam
Dosen Pengampu :



http://htmlimg1.scribdassets.com/6jf0b7u14wma764/images/1-801381a216/000.jpg
Disusun oleh:
Ahmad asrori( 091111002)








FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2010



[1] Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Yoyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.  
[2] Prof. Dr. H. Sirajjuddin, MA. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Yogyakarta: PT. Raja
. Karya-karya Ibnu Thufai

[3] 3 M.M. Syarif, MA. “The Philosophers”, dari buku History of Muslim Philoshophy, Bandung: Mizan, cet. I, 1985, hlm. 174-175.
[4] Op.cit. hlm. 206-207.
[5] Op.cit. hlm. 168-169

[6] Op.cit, hlm. 212-219



















AFTAR PUSTAKA
Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Yoyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Prof. Dr. H. Sirajjuddin, MA. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Yogyakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.
M.M. Syarif, MA. “The Philosophers”, dari buku History of Muslim Philoshophy,
Bandung: Mizan, cet. I, 1985



























IBNU THUFAIL
MAK ALA H
Tugas ini disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
: Filsafat Islam
Dosen Pengampu :



http://htmlimg1.scribdassets.com/6jf0b7u14wma764/images/1-801381a216/000.jpg
Disusun oleh:
Ahmad asrori( 091111002)








FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2010



[1] Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Yoyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.  
[2] Prof. Dr. H. Sirajjuddin, MA. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Yogyakarta: PT. Raja
. Karya-karya Ibnu Thufai

[3] 3 M.M. Syarif, MA. “The Philosophers”, dari buku History of Muslim Philoshophy, Bandung: Mizan, cet. I, 1985, hlm. 174-175.
[4] Op.cit. hlm. 206-207.
[5] Op.cit. hlm. 168-169

[6] Op.cit, hlm. 212-219